Bagi umumnya warga negara ini, yang
disebut dengan Pesta Demokrasi mungkin belum jelas dirasakan. Namun sudah
banyak ternyata, warga yang telah berpesta di alam demokrasi. Pesta dalam
artian bersenang-senang. Ya, bicara pesta pastinya yang tergambar adalah kesenangan
dan kemeriahan—ada banyak makanan yang bebas dinikmati, dan hal lainnya yang
bisa membuat orang merasa senang atau gembira. Di sini saya tidak bicara mereka
tukang bikin kaos, sepanduk, baliho dan atribut-atribut lain yang sangat
mungkin banyak yang sedang kebanjiran order.
Rabu, 19 Desember 2018
Senin, 29 Oktober 2018
BANSER MULIAKAN KALIMAT TAUHID ?
Entah akan sampai di mana panjangnya
buntut aksi bakar bendera di Hari Santri Nasional lalu yang dilakukan oleh Banser.
Semoga ada hal baru yang bisa mengalihkan perhatian mereka, karena aksi bakar
bendera itu (walau disesalkan karena menimbulkan kegaduhan) bukanlah sesuatu
yang benar-benar luar biasa. Bendera yang disebut sebagai Bendera Nabi yang di
sana ada kalimat tauhidnya, nyatanya cuma kain bendera biasa yang tiap-tiap
orang bisa punya gaya berbeda saat memegangnya, begitu pula sikap melecehkan
dan memuliakannya. Dan pada kasus ini, yang dilakukan Banser bisa jadi niatnya
mulia.
Selasa, 16 Oktober 2018
JANGAN UNDANG BENCANA, BRO!
Sembrono dan tidak peduli lingkungan.
Saya kira sebutan itu tidak berlebihan untuk prilaku warga di musim kemarau ini
yang membakar sampah asal-asalan. Sselain
membuang sampah ke sungai, belakangan saya perhatikan warga juga membakari
dedaunan dan rumput kering di sembarang tempat. Saya juga sering membakar
sampah di pekarangan rumah, tapi dikumpulkan terlebih dahulu sebelum dibakar. Juga
tak dibiarkan begitu saja, karena bisa ssaja ada api diterbangkan angin dan
membakar rumah.
Jumat, 05 Oktober 2018
OKTOBER TANGGAL MUDA
Apakah kita bangsa penjarah? Jika
pertanyaan itu diajukan pada sebanyak mungkin orang Indonesia sangat mungkin
jawabannya mayoritas mengatakan tidak atau bukan. Kita adalah bangsa yang sopan
santun, suka tolong menolong, senang bergotong royong, beragama dan masih
banyak lagi istilah yang membanggakan yang biasa kita dengar semenjak kecil.
Saya masih ingat, pada masa sekolah saat pelajaran PMP (Pendidikan Moral Pancasila)
siapapun gurunya selalu memuji keluhuran bangsa ini, yang biasanya diikuti
dengan menjelek-jelekkan bangsa lain.
Sayangnya perlahan tapi pasti, segala
yang pernah saya dengar dari guru-guru PMP itu mulai terkikis seiring
bertambahnya usia, banyaknya bacaan dan bertemu rupa-rupa manusia. Hingga
kemudian saya merantau dan ikut mengalami masa-masa sulit negeri ini yaitu saat
dilanda krisis setelah tumbangnya Orde Baru, rasanya hampir habis rasa percaya saya
pada guru PMP. Dan kini sedang gamblang kita saksikan, di mana baru saja tertimpa bencana, suasana
masih berduka, seakan tak ada rasa sungkan sama sekali, orang beramai-ramai mengambil apa saja barang milik orang lain
yang juga sedang sama tertimpa bencana.
Memang ada alasan sebagai pembenar
pada setiap laku yang dianggap tidak benar, tapi namanya pembenar selalu tidak
pasti benar. Yang jadi alasan mereka para penjarah BBM di SPBU misalnya,
katanya kendaraan mereka butuh bahan bakar untuk mencari anggota keluarga
mereka yang hilang haha. Lalu mereka yang menjarah di pusat perbelanjaan, untuk
apa segala macam barang elektronik—ada sebuah foto menampilkan seseorang
memboceng motor memangku monitor televisi selebar lemari—diangkut dalam situasi
sulit tanpa tempat tinggal dan listrik. Mungkinkah para penjarah itu datang dari
tempat yang jauh—bukan warga yang sedang tertimpa musibah?
Dalam situasi yang mestinya manusia
dekat kepada Tuhan saja kebejatan tak bisa dibendung, apalagi pada keadaan yang
memungkinkan manusia sombong. Penjarahan demi penjarahan begitu sering kita
saksikan kini dan sangat mungkin itu semua bukan kebiasaan baru, Tak aneh jika
negeri ini pejabatnya tukang korupsi, pedagangnya tukang ngapusi, polisinya berteman dengan pencuri, jangan-jangan segala
macam puja-puji untuk diri sendiri itu cuma sublimasi. Agama yang jadi
kebanggaan, pada akhirnya kini pun hanya sebatas pakaian dan ceramah basa-basi.
Baru saja negeri ini memperingati
Hari Kesaktian Pancasila, dasar negara kita yang dibanggakan itu apanya yang
sakti? Sebatas Pancasila tak bisa diubah oleh para pembencinya dan konon
gagal diganti dengan Idiologi Komunis? Pada
hari ketika kesaktiannya diperingati, bangsanya justru pamer sikap ketidak
bertuhanan, ketidakadilan, dan menodai persatuan di layar televisi lalu
disaksikan oleh dunia, topeng apa lagi yang akan kita gunakan untuk menutupi
wajah bopeng ini? Kita menolak komunis karena katanya idiologi ini menghalalkan
segala cara untuk meraih yang diinginkan, lalu apa yang kini sama-sama kita
saksikan?
Rasanya, jika masih mungkin kita
memperbaiki diri, yang pertama harus dilakukan adalah mengakui sejujur-jujurnya
siapa sebenarnya diri ini. Bersama-sama duduk menangisi dosa dan segala
kepalsuan yang selama ini menjadi laku harian kita, bertobat dan kalau masih
yakin dengan Kesaktian Pancasila, bersama-sama kita memahami kandungannya dan
bersama-sama pula mengamalkannnya.
Hmmm… enaknya nggomong sendiri di tanggal muda.
Senin, 24 September 2018
HARINGGA KORBAN KE BERAPA?
Kembali ramai orang mengutuk,
menyesalkan, berduka cita dan macam-macam di media-media massa hari ini di negeri ini. Semua karena
Haringga Sirla, suporter Persija (Jak Mania-) yang tewas dikeroyok pendukung Persib di Gelora
Bandung Lautan Api menjelang pertandingan Persib vs Persija kemarin. Peristiwa
brutal dan segala yang mengikutinya tentu saja bukan hal baru, sudah sering dan
korban tewas dalam kondisi mengerikan sudah panjang daftarnya. Adakah yang luar
biasa di sini?
Kamis, 20 September 2018
PEMILU LAGI.... AH !
Pasangan Capres-cawapres dan Daftar
Calon Tetap (DCT) Calon Anggota Legislatif atau Caleg DPR RI dan DPD RI telah
ditetapkan KPU (Komisi Pemilihan Umum) dan apakah kita sudah siap ikut pemilu lagi? Siap tidak siap, kita
sebagai rakyat jika diajukan pertanyaan jawabanyya pasti siap, memang apa
susahnya datang ke Tempat Pemungutan Suara ( TPS) dan menusuk-nusuk kertas
suara, ya toh? Artinya, silahkan bersaing bagi mereka yang punya banyak uang untuk berebut kursi dan kedudukan, asal jangan lupa dengan rakyat kebanyakan yang
setiap hari peras keringat banting tulang demi bertahan hidup, bagi-bagilah
walau sekedar untuk beli pulsa.
Sabtu, 25 Agustus 2018
TOA MASJID TIDAK SALAH, KITA YANG SALAH
Pasti
ini bukan yang terakhir, pasti akan ada lagi orang yang mempermasalahkannya. Jumlah
masjid terus bertambah, jumlah non muslim pun juga bertambah. Ini bisa saja
dianggap soal sederhana, tapi sangat mungkin menjadi rumit yang kemudian
melibatkan pihak-pihak yang sebenarnya tak perlu terlibat. Toa masjid, sejak kapankah benda satu ini ada
di dunia? Lalu sejak kapan mengganggu telinga anda?
Langganan:
Postingan (Atom)