Apakah kita bangsa penjarah? Jika
pertanyaan itu diajukan pada sebanyak mungkin orang Indonesia sangat mungkin
jawabannya mayoritas mengatakan tidak atau bukan. Kita adalah bangsa yang sopan
santun, suka tolong menolong, senang bergotong royong, beragama dan masih
banyak lagi istilah yang membanggakan yang biasa kita dengar semenjak kecil.
Saya masih ingat, pada masa sekolah saat pelajaran PMP (Pendidikan Moral Pancasila)
siapapun gurunya selalu memuji keluhuran bangsa ini, yang biasanya diikuti
dengan menjelek-jelekkan bangsa lain.
Sayangnya perlahan tapi pasti, segala
yang pernah saya dengar dari guru-guru PMP itu mulai terkikis seiring
bertambahnya usia, banyaknya bacaan dan bertemu rupa-rupa manusia. Hingga
kemudian saya merantau dan ikut mengalami masa-masa sulit negeri ini yaitu saat
dilanda krisis setelah tumbangnya Orde Baru, rasanya hampir habis rasa percaya saya
pada guru PMP. Dan kini sedang gamblang kita saksikan, di mana baru saja tertimpa bencana, suasana
masih berduka, seakan tak ada rasa sungkan sama sekali, orang beramai-ramai mengambil apa saja barang milik orang lain
yang juga sedang sama tertimpa bencana.
Memang ada alasan sebagai pembenar
pada setiap laku yang dianggap tidak benar, tapi namanya pembenar selalu tidak
pasti benar. Yang jadi alasan mereka para penjarah BBM di SPBU misalnya,
katanya kendaraan mereka butuh bahan bakar untuk mencari anggota keluarga
mereka yang hilang haha. Lalu mereka yang menjarah di pusat perbelanjaan, untuk
apa segala macam barang elektronik—ada sebuah foto menampilkan seseorang
memboceng motor memangku monitor televisi selebar lemari—diangkut dalam situasi
sulit tanpa tempat tinggal dan listrik. Mungkinkah para penjarah itu datang dari
tempat yang jauh—bukan warga yang sedang tertimpa musibah?
Dalam situasi yang mestinya manusia
dekat kepada Tuhan saja kebejatan tak bisa dibendung, apalagi pada keadaan yang
memungkinkan manusia sombong. Penjarahan demi penjarahan begitu sering kita
saksikan kini dan sangat mungkin itu semua bukan kebiasaan baru, Tak aneh jika
negeri ini pejabatnya tukang korupsi, pedagangnya tukang ngapusi, polisinya berteman dengan pencuri, jangan-jangan segala
macam puja-puji untuk diri sendiri itu cuma sublimasi. Agama yang jadi
kebanggaan, pada akhirnya kini pun hanya sebatas pakaian dan ceramah basa-basi.
Baru saja negeri ini memperingati
Hari Kesaktian Pancasila, dasar negara kita yang dibanggakan itu apanya yang
sakti? Sebatas Pancasila tak bisa diubah oleh para pembencinya dan konon
gagal diganti dengan Idiologi Komunis? Pada
hari ketika kesaktiannya diperingati, bangsanya justru pamer sikap ketidak
bertuhanan, ketidakadilan, dan menodai persatuan di layar televisi lalu
disaksikan oleh dunia, topeng apa lagi yang akan kita gunakan untuk menutupi
wajah bopeng ini? Kita menolak komunis karena katanya idiologi ini menghalalkan
segala cara untuk meraih yang diinginkan, lalu apa yang kini sama-sama kita
saksikan?
Rasanya, jika masih mungkin kita
memperbaiki diri, yang pertama harus dilakukan adalah mengakui sejujur-jujurnya
siapa sebenarnya diri ini. Bersama-sama duduk menangisi dosa dan segala
kepalsuan yang selama ini menjadi laku harian kita, bertobat dan kalau masih
yakin dengan Kesaktian Pancasila, bersama-sama kita memahami kandungannya dan
bersama-sama pula mengamalkannnya.
Hmmm… enaknya nggomong sendiri di tanggal muda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar