Entah akan sampai di mana panjangnya
buntut aksi bakar bendera di Hari Santri Nasional lalu yang dilakukan oleh Banser.
Semoga ada hal baru yang bisa mengalihkan perhatian mereka, karena aksi bakar
bendera itu (walau disesalkan karena menimbulkan kegaduhan) bukanlah sesuatu
yang benar-benar luar biasa. Bendera yang disebut sebagai Bendera Nabi yang di
sana ada kalimat tauhidnya, nyatanya cuma kain bendera biasa yang tiap-tiap
orang bisa punya gaya berbeda saat memegangnya, begitu pula sikap melecehkan
dan memuliakannya. Dan pada kasus ini, yang dilakukan Banser bisa jadi niatnya
mulia.
Niat mulia bagaimana? Begini, di
masyarakat saya yang umumnya warga NU atau nahdliyin, ada kebiasaan membakar
mushaf al Qur’an. Saya juga pernah beberapa kali melakukannya, dan kebiasaan
ini bukan dengan tujuan menistakannya tapi justru didasari oleh niat
memuliakan al Qur’an. Biasanya yang dibakar al Qur’an yang sudah tua yang
sobek-sobek kertasnya dan yang halamannya lepas-lepas. Alasannya jelas, karena
takut tercecer dan terinjak-injak atau jadi mainan anak-anak.
Sebagai muslim atau mu’min yang
harusnya selalu bersangka baik, saya anggap saja aksi Banser itu diniati agar kalimat
tauhid tidak diremeh-temehkan. Sebagaimana kebiasaan membakar lembaran-lembaran
kertas yang ada tulisan al Qur’annya atau kertas-kertas bertuliskan huruf arab
yang telah saya ceritakan di atas. Muslim tradisional biasanya pula –karena
takut kualat—untuk sekedar memegang sebuah benda yang ada tulisan arabnya kalau
tidak berwudlu tidak berani melakukannya. Jadi menuduh Banser dengan
semena-mena bersalah saya anggap berlebihan.
Kalimat tauhid disablon di selembar
kain, sebagai bendera atau apapun bisa
saja kemudian kain itu dijadikan celana kolor atau alas lesehan. Maka bagi
warga nahdliyin yang memakai kaos bertuliskan huruf arab ke wece saja merupakan
pantangan, menyaksikan ada kain bertuliskan kalimat tauhid dikewer-kewer di keramaian pastinya menimbulkan rasa gelisah. Tapi
apa mau dikata, sontoloyo memang bisanya cuma ikut-ikutan, tak mau memahami
persoalan lebih dulu langsung ngamuk saja, dikipas-kipasi membakar ke mana-mana.
Setelah para ulama menghimbau agar
menyudahi masalah ini (kepada siapapun para pembela agama), sebagaimana sering
dikatakan, cara terbaik menjunjung tinggi martabat agama adalah dengan
mengamalkannya. Agama melarang sombong, mengharuskan adil, memerintahkan
bersangka yang baik-baik pada orang lain, saling membahagiakan dengan ikhlas,
insyaallah kalau semua yang perintahkan dilaksanakan dan yang dilarang (gampang
marah, bodoh, berpecah belah) dihindari, Islam pasti akan jaya raya. Tapi kalau
ke mana-mana pakai peci dan jenggotan, sikapnya angkuh apalagi laku dan
bicaranya kasar, itu semua justru bisa membuat citra agama menjadi buruk.
Itu saja, damai agamaku damai
negeriku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar