Pernah
pada suatu hari ada seorang saudara yang kini berprofesi sebagai guru menelpon
saya yang saat itu sedang kuliah di Jakarta. Waktu itu saya sedang membaca buku
dan ketika dalam pembicaraan lewat telefon itu dia bertanya saya sedang
melakukan apa saat itu, sepontan saya menjawab
sedang membaca buku. Dan sepertinya dia sepontan membalas jawaban saya dengan
berkata: baca buku mau jadi apa? Mungkin
maksud dia bercanda waktu itu, tapi sempat membuat saya terkejut dan sampai
sekarang tetap teringat peristiwa itu.
Membaca
buku dengan tujuan mau jadi apa, sepertinya pada konteks masyarakat kita yang
kini begitu materialistik, di belakang pertanyaan yang terkesan tidak serius
itu pasti ada terbayang deretan profesi hebat di negeri ini: menteri, pejabat tinggi dan
seterusnya. Membaca buku memang bukan hal yang lazim ditemui di masyarakat
kita. Bukan berarti sulit untuk bertemu buku, tapi kebiasaan membaca buku sulit
ditemui dalam keseharian. Bahkan pada anak-anak sekolah dan guru yang setiap hari
berurusan dengan buku. Membaca di sini—maksud saya—adalah duduk diam membaca
buku bacaan dengan serius demi pengetahuan, bukan karena ingin jadi presiden.
Bagaimana
mengubah masyarakat yang tak suka buku ini agar menjadi penggemar buku tentu
saja butuh perjuangan yang hebat. Saya sendiri karena sering ketika membaca--buku
maupun koran—ada yang mengomentari dengan sinis, merasa tidak mampu mengubah
keadaan. Saya malah sering tak nyaman ketika membaca buku di tempat umum,
untunglah sekarang bisa baca buku lewat smartphone.
Membaca
buku bagi yang biasa melakukannya pasti menyenangkan, tak beda dengan tukang
makan diajak ke restoran. Maka, jalan agar masyarakat kita bisa menikmati buku
tak ada jalan lain harus dibiasakan sejak kecil. Bagi anak-anak yang orang
tuanya penggemar buku tak terlalu bermasalah, tapi bagaimana dengan umumnya
kita yang menganggap buku sebagai barang mahal?
Mungkin
perlu ada pelajaran mendongeng di sekolah pada tingkat dasar. Guru di depan
kelas mendongeng sambil memegang buku yang jadi sumber ceritanya, rasanya bisa
merangsang anak-anak agar penasaran dengan buku. Saya ingat waktu kelas satu
esde ada Pak Nasihin guru yang tukang ndongeng, setiap hari selalu mendongeng
dan hingga kini beliau terkenal karena kebiasaannya itu. Tanpa sengaja pada
suatu hari saat sekolah sepi saya dan teman-teman masuk ke kantor sekolah dan
melihat-lihat di lemari kantor yang ternyata ada buku yang isinya dongeng-dongeng
itu. Bisa jadi itu awal saya jadi gemar membuka-buka tumpukan buku di rumah dan
membacanya.
Yang
pasti kebiasaan membaca tak cukup sekedar dikampanyekan, lebih dari itu harus dicarikan
caranya agar buku bisa jadi bagian dari hidup masyarakat kita. Hari buku se-Dunia
yang diperingati tiap tanggal 23 April harus benar-benar dirayakan di
Indonesia. Tak cuma dengan diadakan Pameran Buku agar orang membeli buku
obralan, buku harus disediakan di tengah masyarakat agar bisa diakrabi dan
dinikmati.
Ayo
membaca buku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar