Pasti
ini bukan yang terakhir, pasti akan ada lagi orang yang mempermasalahkannya. Jumlah
masjid terus bertambah, jumlah non muslim pun juga bertambah. Ini bisa saja
dianggap soal sederhana, tapi sangat mungkin menjadi rumit yang kemudian
melibatkan pihak-pihak yang sebenarnya tak perlu terlibat. Toa masjid, sejak kapankah benda satu ini ada
di dunia? Lalu sejak kapan mengganggu telinga anda?
Saya
bisa memaklumi siapapun—apalagi mereka non muslim—yang merasa tidak senang
karena merasa terganggu oleh suara-suara keras dari rumah ibadah seperti
masjid dan musholla. Karena nyatanya, banyak rumah-rumah ibadah kaum muslim itu
yang tidak proporsional dalam penggunaan pengeras suara. Sebagai muslim pun
sering saya dibuat jengkel, apalagi mereka yang bukan bagian dari komunitas.
Rasa
tidak nyaman saya bukan tentang adzan yang waktunya hanya sebentar itu, suara adzan
yang tidak nggenah lagunya—tak jauh dari tempat saya ada muadzin yang agar kita
bisa tahu yang disuarakannya butuh melihat langsung orangnya, karena kalau cuma
mendengar biar seratus kali pun rasanya akan sulit mengenali itu adzan—bagi saya
tak melampaui bisingnya suara kereta yang melintas. Orang yang tinggal di tepi
rel kereta api pasti akan santai saja ketika tengah malam ada kereta lewat di
sebelah kamarnya, dan seorang tamu di sana boleh saja mengeluh, tapi pasti
dianggap bodoh kalau sampai menyalahkan kereta yang lewat itu. Saya tidak
pernah jengkel dengan muadzin yang payah, karena bisa jadi keadaan yang membuat
dia ada di sana. Yang mengesalkan saya adalah ketika toa masjid digunakan tanpa
menimbang waktu dan cenderung mengganggu.
Dulu
toa cuma ada di masjid jami (masjid utama di desa), musholla atau langgar
umumnya tanpa pengeras suara. Kini masjid di satu desa bisa lebih dari dua dan
langgar yang jarak satu dengan lainnya bisa cuma puluhan meter sudah pakai pengeras suara semua.
Ini juga sering bikin pusing, karena sering langgar yang satu sudah mulai
sholat langgar sebelahnya baru adzan atau asyik menembangkan lagu-lagu pujian
menunggu jamaah sholat, bagi saya ini bermasalah. Tapi orang dalam—kaum muslim—sejauh
ini di sini khususnya tak ada yang menganggap ini masalah. Menunggu kerja
tangan penguasa rasanya sulit juga, karena kekuasaan yang ada saat ini pun
sedang menanggung banyak masalah.
Masalah
ada di mana-mana dan kita bagian dari masalah itu. Dari banyak masalah yang ada
kini, masalah seriusnya saya kira adalah tidak merasanya kita sebagai orang bermasalah.
Orang tak pernah belajar adzan nekat jadi muadzin jelas salah, belajar baca Al
Quran lewat huruf latin berani jadi imam sholat sudah pasti salah, tapi
fenomena beginian sekarang mudah ditemui. Seorang pendatang merasa terganggu
oleh suara adzan dari musholla yang tak jauh dari tempat tinggal barunya
menurut saya salah dan tambah bermasalah ketika mengeluhkannya. Kebiasaan kita
yang tak senang mendekat, tak membiasakan diri rapat dan mufakat lalu lebih sering
mengumpat jadi lahan subur berkembangnya banyak penyakit sosial ini.
Ibu Meiliana warga Tanjung Balai Sumatra Utara baru saja divonis penjara satu setengah tahun, jelas ini tidak akan memperbaiki masalah-masalah yang ada. Saya hanya
berharap, ini bukan benih masalah baru yang akan tumbuh jadi pohon besar yang
berbuah lebat. Agama mengarahkan manusia agar hidup lebih baik dan lebih baik,
lalu kenapa hidup kita begini?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar