Kembali ramai orang mengutuk,
menyesalkan, berduka cita dan macam-macam di media-media massa hari ini di negeri ini. Semua karena
Haringga Sirla, suporter Persija (Jak Mania-) yang tewas dikeroyok pendukung Persib di Gelora
Bandung Lautan Api menjelang pertandingan Persib vs Persija kemarin. Peristiwa
brutal dan segala yang mengikutinya tentu saja bukan hal baru, sudah sering dan
korban tewas dalam kondisi mengerikan sudah panjang daftarnya. Adakah yang luar
biasa di sini?
Orang mati dikeroyok di tempat umum
tanpa pertolongan, tawuran menggunakan senjata untuk saling melukai, pejabat mengungkapkan keperihatinan di media
massa atas tragedi yang menimpa warga, polisi menangkapi pelaku kejahatan remeh
temeh, di negeri ini adalah hal yang lumrah, jadi kalau ada orang yang sampai
melongo mengetahui hal-hal itu terjadi pasti bukan orang Indonesia, dia mungkin
turis dari Swiss yang baru pertama ke sini dan tak pernah baca berita. Turis dari
Swiss itu boleh menganggap tradisi ini sebagai sesuatu yang luar biasa, tapi saya
yakin kita tidak dan kalaupun menunjukkan sikap gregetan pasti cuma pura-pura.
Dia yang pura-pura tidak menyukai
tradisi itu adalah yang mengatakan pertandingan sepakbola harus ditiadakan di
tempat yang rawan kerusuhan. Saya katakan itu karena nyatanya kerusuhan dan
tawuran sampai baku bunuh bukan cuma di acara pertandingan sepakbola, itu hanya
salah satu dari sekian banyak ruang untuk terjadinya aksi unjuk kegagahan
manusia di negeri tempatnya para jawara dan pendekar. Orang senang rebut dan
gemar bikin kerusuhan ada di mana-mana di negeri ini, tak hanya di sekitar
setadion sepakbola atau di jalan raya, bahkan di tempat-tempat ibadah pun
sering terjadi. Tawuran anak sekolah hampir setiap hari ada dan lokasinya
sering di depan gedung sekolah, berantem di acara dangdutan pun hampir selalu
ada, sekelompok tentara menyerbu pos
polisi dan saya yakin andai tak disorot kamera dan diabaikan wartawan para
politikus kita di senayan mungkin saja seminggu sekali lempar-lemparan kursi
atau kejar-kejaran di lorong-lorong gedung DPR.
Di sekolah guru-guru sering mengatakan
kita bangsa ramah tamah yang suka gotong royong, dalam ceramah-ceramah
puja-puji pada diri sendiri dan menyalahkan film-film barat sebagai penyebab
kelakuan buruk mudah ditemui, ini juga sesuatu yang segolongan—golongan setan
yang menyesatkan. Kenapa tidak kita akui saja bahwa permusuhan dan kekerasan
adalah buah dari local genius kita. Bukan baru
sekarang juga ketika ada media sosial (medsos) orang kita saling mengumpat,
menyebarkan kebencian, membuat fitnah dan terang-terangan mengajak untuk
menghabisi orang lain, semua itu sudah lumrah adanya sejak zaman nenek moyang. Mental
pengecut kita saja yang membuat semua itu jadi semacam bara dalam sekam.
Entah akan sampai kapan bara
bersemayam di dalam sekam. Sesekali berkobar lalu lama berupa asap tipis
mengalun, andai saat berkobar yang tampak bukan aksi kepengecutan bolehlah
semua itu dipelihara, persoalannya yang lebih sering terjadi adalah
lempar-lemparan batu, pengeroyokan dan tindakan main belakang. Kalau kepengecutan
ini terus dibiarkan tumbuh, setelah masa perang kata-kata lewat medsos
mengalami masa jenuh saya khawatir akan hadir zaman yang lebiih menghinakan
kemanusiaan. Apalagi teladan hidup kita
sekarang adalah politikus dan artis, kelompok manusia yang gemar buang hajat di
meja makan kita.
Semoga Haringga tidak meninggal
sia-sia. Semoga kita menyadari bahwa Haringga Risla adalah utusan Tuhan, yang
lewat cara yang tragis sedang menggugah batin kita agar mengakui bahwa kita
bukanlah apa yang kita pikirkan. Kiamat masih jauh, jangan putus asa, mari
tetap berbenah karena sebagai manusia kita penuh dengan salah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar