Bagi umumnya warga negara ini, yang
disebut dengan Pesta Demokrasi mungkin belum jelas dirasakan. Namun sudah
banyak ternyata, warga yang telah berpesta di alam demokrasi. Pesta dalam
artian bersenang-senang. Ya, bicara pesta pastinya yang tergambar adalah kesenangan
dan kemeriahan—ada banyak makanan yang bebas dinikmati, dan hal lainnya yang
bisa membuat orang merasa senang atau gembira. Di sini saya tidak bicara mereka
tukang bikin kaos, sepanduk, baliho dan atribut-atribut lain yang sangat
mungkin banyak yang sedang kebanjiran order.
Yang akan saya bicarakan adalah Pesta
Demokrasi di desa kelahiran saya (tapi bukan desa saya sekarang) yang baru hari
kemarin menyelenggarakannya. Tepatnya tanggal 17 Desember lalu serentak di
Kecamatan Pagerbarang Kabupaten Tegal
berlangsung pemilihan kepala desa, atau Pilkades Serentak. Saya tidak mengecek
data pasti ada berapa desa se-kecamatan, hanya mendengar begitu saja dari
penuturan ada 13 desa yang hari itu mengadakan pilkades. Dan karena bukan libur
nasional maka saya tak bisa keliling kecamatan untuk memantau peristiwa,
sekedar menikmati suasana di dua desa terdekat.
Saya begitu antusias menyebut Pesta
Demokrasi di hajatan ini, karena ada lima kontestan di desa tempat kelahiran
saya itu yang luas wilayahnya dan jumlah penduduknya tidak banyak. Calon kades,
sudah lazim menjelang pemilihan dalam waktu satu sampai tiga bulan tempat
tinggalnya akan terbuka bagi tamu siang dan malam. Berduyun-duyun
warga—terutama anak muda—akan datang menikmati suguhan dan menghabiskan makanan,
istilah di sini Nyerog. Tak cuma
makanan, di zaman ketika uang dipuji dan dipuja, para calon kades pun tahu
diri. Maka bagi-bagi uang pun berlangsung massif. Tidak siang tidak malam,
tukang antar duit bisa langsung mengangsurkan uang satu juta rupiah kepada
seorang ibu yang tiga orang anaknya diketahui punya hak memilih tanpa tuntutan
ini dan itu. Kemudian datang lagi yang
membagi Rp 50000 untuk tiap pemilih. Bagaimana ini bukan pesta?
Dengan jumlah pemilih yang hanya
seribu lebih, banyak yang bilang hanya cukup menyediakan dana seratus juta
untuk dibagi ke seribu pemilih dipastikan seorang calon kades bisa menang.
Faktanya ada yang terang-terangan menganggarkan Rp 150 Juta untuk menyuap
warga. Tentu saja tak dibagi rata, para calon pastinya tahu mana yang potensial
memilihnya dan yang tidak, maka ada yang diberi lebih banyak atau mendapat
berkali-kali. Setengah milyar, sangat mungkin para calon itu menyediakan dana
itu untuk menjadi kepala desa selama lima tahun.
Tapi ada yang menarik dari gaya calon
kades itu. Ini dilakukan oleh calon petahana, mungkin karena yakin tidak akan
menang yang dilakukannya adalah bagi-bagi kupon undian. Di halaman rumahnya
dipajang aneka rupa barang, dari sepeda motor samai magic-com yang akan
dibagikan kepada warga kalau menang, caranya cukup menunjukkan kupon yang
bernomor dan mencocokkan dengan nomor yang ada di barang. Kampanye unik tapi
tidak menarik, karena hasilnya lurah yang sekarang menjabat itu benar-benar
kalah di urutan buncit.
Saya belum tahu kabar terbarunya,
apakah calon yang telah menganggarkan seratus limapuluh juta dan kalah akan
menuntut uangnya kembali atau ikhlas menerima kekalahan? Atau adakah dari
calon-calon yang kalah itu dana kampanyenanya di dapat dari berhutang lalu
langsung pura-pura jadi orang gila agar tidak ditagih? Rencananya baru besok
saya akan datang ke sana menengok perkembangan, bagi saya ini peristiwa sangat
menarik betapa untuk menjadi lurah yang tidak digaji tapi hanya dapat beberapa
petak sawah garapan seseorang bisa jor-joran membuang uang ratusan juta yang
bagi kebanyakan orang jumlah itu sulit dibayangkan seberapa karung banyaknya.
Pemilu nasional masih kurang lebih
empat bulan lagi. Di sini belum ramai gerakan-gerakannya, belum ada orang yang
mendata warga untuk mendapat jatah dengan syarat menoblos si ini atau si itu.
Semoga tidak lama lagi, saya penasaran seberani apa calon legislatif itu,
apakah lebih berani dari calon kades? Pesta mari pesta.
2 komentar:
Wah, besar juga modal yang dikeluarkan untuk calon pemimlin ya ?.
Aku pernah dengar cerita selentingan seperti ini waktu aku ngopi di warung.
Waktu itu mereka menceritakan salah satu warga di desanya ikut partai dan berkeinginan memenangkan pemilihan jadi ketua ..., semua asetnya dijual untuk itu.
Tapi nasib berkata lain, dia tak terplih.
Akhirnya harta ludes.
sekarang serentak yah pilkades nya, tp lum bisa ikutan hehe cuma dnger info doang
Posting Komentar