Melihat kini pemilu tak semeriah di jaman saya kecil dulu saya jadi ingin
bercerita. Cerita tentang kegiatan kampanye di masa pemilu, agar mereka yang
baru melek pemilu sekarang punya gambaran dibenaknya tentang pasang surutnya
gairah pemilu dari masa ke masa di
negara ini. Di sini saya cuma mau bercerita tentang sesuatu yang pernah saya
lihat. Dan tentu saja saya bukan orang yang sudah sangat tua yang tahu pemilu
dari masa awal. Tapi mengalami lebih dari lima pemilu di beberapa masa yang
penting saya kira pengalaman yang tidak semestinya didiamkan.
Masa-masa penting itu adalah masa ketika gairah kepartaian warga masih
menggebu-gebu, yaitu di akhir dekade 70an atau awal 80an. Saat itu massa tak
hanya turun ke jalan meramaikan kampanye partainya, lebih dari itu gesekan
antar massa partai sampai menimbulkan perang fisik yang mengakibatkan banyak
korban jiwa. Lalu masa ketika partai-partai peserta pemilu selain Golkar
dikebiri, dimana kampanye tak semeriah masa-masa sebelumnya walau gesekan antar
pendukung partai masih panas dan bentrok fisik masih terjadi. Ini adalah masa
pemilu di akhir 80an sampai menjelang akhir jaman Orde Baru (ORBA). Memasuki
jaman Orde Reformasi kemeriahan sempat kembali lagi, jumlah partai menjadi banyak,
bagusnya konflik antar pendukung partai tak begitu terasa. Hingga akhirnya kini
ketika warga sepertinya tak begitu bergairah meramaikan pemilu, sehingga uang
menjadi alat untuk menarik warga agar terlibat—sesuatu yang rasanya di jaman
saya kecil dulu tak berlangsung.
Masih jelas di ingatan, di era ketika warga masih menggebu-gebu berpartai,
saat itu umat muslim mendukung PPP (Partai Persatuan Pembangunan) yang
bergambar Ka’bah dengan sentimen keagamaan yang luar biasa. Pada masa kampanye,
di daerah Brebes massa PPP selalu tumpah ruah memenuhi lokasi kampanye.
Simbol-simbol keagamaan begitu mencolok, tokoh agama yang bukan pegawai negri
dari tingkat nasional sampai tingkat kampung lantang menyuarakan aspirasinya.
Pada masa itu Raja Dangdut Rhoma Irama menjadi salah satu ikon PPP yang begitu
fenomenal sampai pemerintah ORBA melarang sosoknya tampil di televisi.
Anak-anak pesantren berperang dengan anggota AMPI (ormas kepemudaan Golkar),
para pegawai negri dibuat serba salah hidup di tengah-tengah masyarakat.
Pada pemilu 1982 saya sudah umur sembilan tahun, saat itu di rumah saya
jadi tempat membuat baliho dan segala macam atribut partai, dan orang tua saya
yang bukan caleg atau fungsionaris partai aktif terlibat menyemarakan pesta
lima tahunan itu. Saya masih ingat orang tua saya membuat baliho bergambar
Ka’bah berukuran sangat besar dari kain yang digambar dengan cat minyak di
halaman rumah dan dipajang di perempatan jalan di depan pasar. Sayangnya baliho
itu tak tahan lama karena tak kuasa menahan terpaan angin, sehingga tiang bambu
penyangganya patah dan gambar Ka’bah itu ambruk. Saya merasa masa itulah masa
paling gegap gempita dalam sejarah pemilu yang saya alami, apalagi di setiap
kampanye selalu saya diajak.
Pemilu berikutnya PPP sudah tak bergambar Ka’bah lagi (berganti bintang) dan
kampanye di jalan sudah dilarang. Rhoma Irama masuk Golkar, massa PPP tinggal
kaum fanatiknya saja yang berani tampil di tempat umum, dan para pegawai negri
tak salah tingkah lagi. Kaum fanatik PPP pun mulai banyak yang mengalami
intimidasi, tetangga saya yang gairah ke-PPP-annya tak pernah mati dan sulit
dilarang ikut kampanye terus menerus mendapat teror dari aparat desa. Saya
masih ingat di pemilu tahun 1992, tetangga saya yang bernama man Sori itu
dipaksa menandatangani kartu keanggotaan Golkar oleh lurah setempat tanpa ada
yang berani membelanya, dan karena menolak maka ketika akan menikahkan anaknya
pihak desa pun menolak membantu memberi surat untuk keperluan pernikahan
anaknya itu. Ada lagi, karena di saat pencoblosan diketahui ada suara PDI,
seorang warga pendatang yang non muslim dikeroyok lurah dan begundalnya sampai
istrinya syok kemudian meninggal.
Di masa Reformasi, multi partai hidup lagi. Bermunculan partai baru dan PPP
kembali bergambar Ka’bah di pemilu 1999. Saya sudah tak bergairah lagi ikut
pemilu, kampanye yang kembali meriah
hanya saya tonton dari pinggir jalan saja. Baru pada pemilu tahun 2004 ada
gairah memilih walau tak ikut kampanye, yaitu memilih presiden karena saat itu
saya sedang terkagum-kagum pada Amin Rais. Amin Rais kalah dan saya kapok
mendukung apapun, rasanya mulai saat itu sudah tak ada lagi partai atau sosok
yang menarik, bahkan akhirnya kini Amin Rais pun saya rasa sudah tak ada nilai
lebihnya lagi. Adapun fenomena mutaakhir tentang Jokowi, berkaca pada gairah
saya saat mendukung Amin Rais dulu, saya jadi takut kalau rasa suka yang
berlebih akan berbalik jadi rasa muak berlebihan pula. Maka saya menikmati
suasana saja saat ini.
Kemarin saat masa kampanye sepekan saya di desa, kampanye di jalanan setiap
hari saya lihat lumayan ramai, suara gas sepeda motor yang dimain-mainkan, anak-anak muda berkaos
partai diangkut pakai mobil bak terbuka, aksi bagi-bagi kaos atau yang lainnya
setiap tengah hari pasti berlangsung. Tapi tak ada ibu-ibu berkerudung dan
bapak-bapak berpeci dengan seragam milik pribadi menunggu mobil truk pengangkut
di pinggir jalan lagi seperti di jaman saya kecil dulu. Kini orang-orang selalu
menanyakan soal uang sebelum terlibat kampanye dan suasananya benar-benar menjemukan.
Mari kita tunggu saja hari C itu, apakah warga masih juga bergairah ke TPS atau
seperti yang dikhawatirkan banyak pengamat bahwa golput akan meningkat.
3 komentar:
pemilu sekarang seperti bermain judi..nasib bangsa dipertaruhkan di tangan partai2 dengan caleg yg tak jelas asal usulnya...keep happy blogging always..salam dari Makassar :-)
Jadi coblos kah pemilu kemarin? :P
jaman orba semua musti kuning gan... takut sama penguasa
Posting Komentar