Selasa, 08 April 2014

Kampanye Pemilu; Dulu dan Sekarang



Melihat kini pemilu tak semeriah di jaman saya kecil dulu saya jadi ingin bercerita. Cerita tentang kegiatan kampanye di masa pemilu, agar mereka yang baru melek pemilu sekarang punya gambaran dibenaknya tentang pasang surutnya gairah pemilu dari masa ke masa  di negara ini. Di sini saya cuma mau bercerita tentang sesuatu yang pernah saya lihat. Dan tentu saja saya bukan orang yang sudah sangat tua yang tahu pemilu dari masa awal. Tapi mengalami lebih dari lima pemilu di beberapa masa yang penting saya kira pengalaman yang tidak semestinya didiamkan.


Masa-masa penting itu adalah masa ketika gairah kepartaian warga masih menggebu-gebu, yaitu di akhir dekade 70an atau awal 80an. Saat itu massa tak hanya turun ke jalan meramaikan kampanye partainya, lebih dari itu gesekan antar massa partai sampai menimbulkan perang fisik yang mengakibatkan banyak korban jiwa. Lalu masa ketika partai-partai peserta pemilu selain Golkar dikebiri, dimana kampanye tak semeriah masa-masa sebelumnya walau gesekan antar pendukung partai masih panas dan bentrok fisik masih terjadi. Ini adalah masa pemilu di akhir 80an sampai menjelang akhir jaman Orde Baru (ORBA). Memasuki jaman Orde Reformasi kemeriahan sempat kembali lagi, jumlah partai menjadi banyak, bagusnya konflik antar pendukung partai tak begitu terasa. Hingga akhirnya kini ketika warga sepertinya tak begitu bergairah meramaikan pemilu, sehingga uang menjadi alat untuk menarik warga agar terlibat—sesuatu yang rasanya di jaman saya kecil dulu tak berlangsung.

Masih jelas di ingatan, di era ketika warga masih menggebu-gebu berpartai, saat itu umat muslim mendukung PPP (Partai Persatuan Pembangunan) yang bergambar Ka’bah dengan sentimen keagamaan yang luar biasa. Pada masa kampanye, di daerah Brebes massa PPP selalu tumpah ruah memenuhi lokasi kampanye. Simbol-simbol keagamaan begitu mencolok, tokoh agama yang bukan pegawai negri dari tingkat nasional sampai tingkat kampung lantang menyuarakan aspirasinya. Pada masa itu Raja Dangdut Rhoma Irama menjadi salah satu ikon PPP yang begitu fenomenal sampai pemerintah ORBA melarang sosoknya tampil di televisi. Anak-anak pesantren berperang dengan anggota AMPI (ormas kepemudaan Golkar), para pegawai negri dibuat serba salah hidup di tengah-tengah masyarakat.

Pada pemilu 1982 saya sudah umur sembilan tahun, saat itu di rumah saya jadi tempat membuat baliho dan segala macam atribut partai, dan orang tua saya yang bukan caleg atau fungsionaris partai aktif terlibat menyemarakan pesta lima tahunan itu. Saya masih ingat orang tua saya membuat baliho bergambar Ka’bah berukuran sangat besar dari kain yang digambar dengan cat minyak di halaman rumah dan dipajang di perempatan jalan di depan pasar. Sayangnya baliho itu tak tahan lama karena tak kuasa menahan terpaan angin, sehingga tiang bambu penyangganya patah dan gambar Ka’bah itu ambruk. Saya merasa masa itulah masa paling gegap gempita dalam sejarah pemilu yang saya alami, apalagi di setiap kampanye selalu saya diajak.

Pemilu berikutnya PPP sudah tak bergambar Ka’bah lagi (berganti bintang) dan kampanye di jalan sudah dilarang. Rhoma Irama masuk Golkar, massa PPP tinggal kaum fanatiknya saja yang berani tampil di tempat umum, dan para pegawai negri tak salah tingkah lagi. Kaum fanatik PPP pun mulai banyak yang mengalami intimidasi, tetangga saya yang gairah ke-PPP-annya tak pernah mati dan sulit dilarang ikut kampanye terus menerus mendapat teror dari aparat desa. Saya masih ingat di pemilu tahun 1992, tetangga saya yang bernama man Sori itu dipaksa menandatangani kartu keanggotaan Golkar oleh lurah setempat tanpa ada yang berani membelanya, dan karena menolak maka ketika akan menikahkan anaknya pihak desa pun menolak membantu memberi surat untuk keperluan pernikahan anaknya itu. Ada lagi, karena di saat pencoblosan diketahui ada suara PDI, seorang warga pendatang yang non muslim dikeroyok lurah dan begundalnya sampai istrinya syok kemudian meninggal.

Di masa Reformasi, multi partai hidup lagi. Bermunculan partai baru dan PPP kembali bergambar Ka’bah di pemilu 1999. Saya sudah tak bergairah lagi ikut pemilu, kampanye  yang kembali meriah hanya saya tonton dari pinggir jalan saja. Baru pada pemilu tahun 2004 ada gairah memilih walau tak ikut kampanye, yaitu memilih presiden karena saat itu saya sedang terkagum-kagum pada Amin Rais. Amin Rais kalah dan saya kapok mendukung apapun, rasanya mulai saat itu sudah tak ada lagi partai atau sosok yang menarik, bahkan akhirnya kini Amin Rais pun saya rasa sudah tak ada nilai lebihnya lagi. Adapun fenomena mutaakhir tentang Jokowi, berkaca pada gairah saya saat mendukung Amin Rais dulu, saya jadi takut kalau rasa suka yang berlebih akan berbalik jadi rasa muak berlebihan pula. Maka saya menikmati suasana saja saat ini.

Kemarin saat masa kampanye sepekan saya di desa, kampanye di jalanan setiap hari saya lihat lumayan ramai, suara gas sepeda motor  yang dimain-mainkan, anak-anak muda berkaos partai diangkut pakai mobil bak terbuka, aksi bagi-bagi kaos atau yang lainnya setiap tengah hari pasti berlangsung. Tapi tak ada ibu-ibu berkerudung dan bapak-bapak berpeci dengan seragam milik pribadi menunggu mobil truk pengangkut di pinggir jalan lagi seperti di jaman saya kecil dulu. Kini orang-orang selalu menanyakan soal uang sebelum terlibat kampanye dan suasananya benar-benar menjemukan. Mari kita tunggu saja hari C itu, apakah warga masih juga bergairah ke TPS atau seperti yang dikhawatirkan banyak pengamat bahwa golput akan meningkat.

3 komentar:

Blogs Of Hariyanto mengatakan...

pemilu sekarang seperti bermain judi..nasib bangsa dipertaruhkan di tangan partai2 dengan caleg yg tak jelas asal usulnya...keep happy blogging always..salam dari Makassar :-)

Nuel Lubis, Author "Misi Terakhir Rafael: Cinta Tak Pernah Pergi Jauh" mengatakan...

Jadi coblos kah pemilu kemarin? :P

r10 hptekno mengatakan...

jaman orba semua musti kuning gan... takut sama penguasa