Tulisan
ini tentang Bantuan Sosial Tunai yang sekarang sedang dalam pencairan gelombang
kedua yang rasanya belum atau tidak beres. Lebih spesifik lagi ini tentang
tetangga sebelah rumah yang nasibnya sudah sejak lama jauh berbeda dan hingga
kini tetap demikian karena tatanan sosial kita yang kacau. Jadi koar-koar di
media sosial belakangan ini soal tidak adilnya pembagian Bansos itu pada
kenyataannya bukan sekedar ekspresi kaum pendengki. Walaupun saya yakin mereka
yang mengalami ketidakadilan lebih banyak yang diam alias pasrah.
Seperti
tetangga saya yang seorang tukang becak, dari wajahnya saya merasakan kecewa
pada kenyataan bahwa dirinya tidak dapat bantuan uang tunai enam ratus ribu
rupiah per bulan dari Kementrian Sosial yang aturannya berlangsung selama tiga
bulan itu (April, Mei, Juni, tapi sepertinya akan diperpanjan sesuai aturan
baru). Walaupun tidak semua orang mendapat uang mengambang itu (ada seseorang
menyebutnya demikian, entah apa maksudnya) tapi siapa orangnya tidak merasa
dianiaya melihat ada orang kaya di depan mata dapat bantuan sosial sementara
dirinya yang serba kekurangan justru tidak mendapatkan. Saya tidak tahu apakah
tetangga yang tukang becak itu sering berkeluh kesah kepada sesama tukang becak
di pasar atau pada penumpangnya, saya hanya merasa ada ekspresi wajah yang berbeda
pada dirinya.
Tetangganya
yang kaya itu bisa dikatakan tepat ada di depan rumahnya: keluarga berkecukupan
dari keturunan orang kaya, mempunyai sebuah toko, punya pempat penggilingan
padi, pernah punya mobil, telah menguliahkan anaknya hingga bisa pulang dari
jauh mengendarai mobil, dan di musim pemerintah bagi-bagi bansos ternyata
mendapat bagian entah bagaimana prosesnya. Tentu saja jadi gunjingan, tapi
hanya sekedar itu. Konon di desa lain hal semacam ini bisa dipersoalkan, hingga
ada yang suka rela menyerahkan pada pihak desa untuk diberikan pada yang
dianggap lebih berhak.
Ada
banyak jenis bansos terkait COVID 19, dan konon tiap-tiap rumah dapat bantuan itu
meski bentuknya berbeda-beda. Entah benar atau tidak tiap rumah atau keluarga dapat
bantuan, dari hasil nguping dan sedikit mengamati ternyata banyak juga keluarga
yang tidak dapat bagian. Ketika yang tidak dapat mereka yang dianggap
berkecukupan, siapapun bisa menerimanya, tapi ternyata di lapangan banyak
terjadi hal-hal aneh. Keanehan ini entah disebabkan oleh aparat yang tidak
bekerja atau ada kesalahan-kesalahan administrasi yang tidak disengaja, sejauh
ini rasanya tidak banyak yang mengulas.
Apa
yang saya saksikan dari dekat ini pastinya bukan sesuatu yang luar biasa
mengingat ketidakadilan begitu mudah disaksikan kapanpun di manapun di negeri
ini. Saya pribadi tak bisa berbuat banyak, paling berharap mereka yang
berkecukupan mau berbagi dengan tulus dengan yang kekurangan di masa sulit ini,
hingga apa yang dikhawatirkan seorang kawan akan ada kerusuhan sosial tidak
terjadi. Apalagi hingga kini tidak bisa dipastikan wabah Corona ini kapan akan
berakhir.
Akhirnya,
apa yang kini sedang santer digaungkan sebagai New Normal, semoga tidak hanya
menyangkut gaya hidup warga, lebih dari itu aparatur negara pada setiap
levelnya harus punya “kenormalan baru” dalam hal sistem. Mengubah mental aparatur
negara pastinya sangat berat, tapi kita bisa memanfaatkan momentum sekarang ini
untuk membuat sistem baru dan menjalankan pengetatan aturan. Selalu ada
kesempatan untuk menjadi lebih baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar