Jumat, 05 Oktober 2018

OKTOBER TANGGAL MUDA


Apakah kita bangsa penjarah? Jika pertanyaan itu diajukan pada sebanyak mungkin orang Indonesia sangat mungkin jawabannya mayoritas mengatakan tidak atau bukan. Kita adalah bangsa yang sopan santun, suka tolong menolong, senang bergotong royong, beragama dan masih banyak lagi istilah yang membanggakan yang biasa kita dengar semenjak kecil. Saya masih ingat, pada masa sekolah saat pelajaran PMP (Pendidikan Moral Pancasila) siapapun gurunya selalu memuji keluhuran bangsa ini, yang biasanya diikuti dengan menjelek-jelekkan bangsa lain.

Sayangnya perlahan tapi pasti, segala yang pernah saya dengar dari guru-guru PMP itu mulai terkikis seiring bertambahnya usia, banyaknya bacaan dan bertemu rupa-rupa manusia. Hingga kemudian saya merantau dan ikut mengalami masa-masa sulit negeri ini yaitu saat dilanda krisis setelah tumbangnya Orde Baru, rasanya hampir habis rasa percaya saya pada guru PMP. Dan kini sedang gamblang kita saksikan,  di mana baru saja tertimpa bencana, suasana masih berduka, seakan tak ada rasa sungkan sama sekali, orang beramai-ramai  mengambil apa saja barang milik orang lain yang juga sedang sama tertimpa bencana.

Memang ada alasan sebagai pembenar pada setiap laku yang dianggap tidak benar, tapi namanya pembenar selalu tidak pasti benar. Yang jadi alasan mereka para penjarah BBM di SPBU misalnya, katanya kendaraan mereka butuh bahan bakar untuk mencari anggota keluarga mereka yang hilang haha. Lalu mereka yang menjarah di pusat perbelanjaan, untuk apa segala macam barang elektronik—ada sebuah foto menampilkan seseorang memboceng motor memangku monitor televisi selebar lemari—diangkut dalam situasi sulit tanpa tempat tinggal dan listrik. Mungkinkah para penjarah itu datang dari tempat yang jauh—bukan warga yang sedang tertimpa musibah?

Dalam situasi yang mestinya manusia dekat kepada Tuhan saja kebejatan tak bisa dibendung, apalagi pada keadaan yang memungkinkan manusia sombong. Penjarahan demi penjarahan begitu sering kita saksikan kini dan sangat mungkin itu semua bukan kebiasaan baru, Tak aneh jika negeri ini pejabatnya tukang korupsi, pedagangnya tukang ngapusi, polisinya berteman dengan pencuri, jangan-jangan segala macam puja-puji untuk diri sendiri itu cuma sublimasi. Agama yang jadi kebanggaan, pada akhirnya kini pun hanya sebatas pakaian dan ceramah basa-basi.

Baru saja negeri ini memperingati Hari Kesaktian Pancasila, dasar negara kita yang dibanggakan itu apanya yang sakti? Sebatas Pancasila tak bisa diubah oleh para pembencinya dan konon gagal  diganti dengan Idiologi Komunis? Pada hari ketika kesaktiannya diperingati, bangsanya justru pamer sikap ketidak bertuhanan, ketidakadilan, dan menodai persatuan di layar televisi lalu disaksikan oleh dunia, topeng apa lagi yang akan kita gunakan untuk menutupi wajah bopeng ini? Kita menolak komunis karena katanya idiologi ini menghalalkan segala cara untuk meraih yang diinginkan, lalu apa yang kini sama-sama kita saksikan?

Rasanya, jika masih mungkin kita memperbaiki diri, yang pertama harus dilakukan adalah mengakui sejujur-jujurnya siapa sebenarnya diri ini. Bersama-sama duduk menangisi dosa dan segala kepalsuan yang selama ini menjadi laku harian kita, bertobat dan kalau masih yakin dengan Kesaktian Pancasila, bersama-sama kita memahami kandungannya dan bersama-sama pula mengamalkannnya.

Hmmm… enaknya nggomong sendiri di tanggal muda.



Tidak ada komentar: