Senin, 24 September 2018

HARINGGA KORBAN KE BERAPA?


Kembali ramai orang mengutuk, menyesalkan, berduka cita dan macam-macam di media-media massa hari ini di negeri ini. Semua karena Haringga Sirla, suporter Persija (Jak Mania-) yang tewas dikeroyok pendukung Persib di Gelora Bandung Lautan Api menjelang pertandingan Persib vs Persija kemarin. Peristiwa brutal dan segala yang mengikutinya tentu saja bukan hal baru, sudah sering dan korban tewas dalam kondisi mengerikan sudah panjang daftarnya. Adakah yang luar biasa di sini?


Orang mati dikeroyok di tempat umum tanpa pertolongan, tawuran menggunakan senjata untuk saling melukai,  pejabat mengungkapkan keperihatinan di media massa atas tragedi yang menimpa warga, polisi menangkapi pelaku kejahatan remeh temeh, di negeri ini adalah hal yang lumrah, jadi kalau ada orang yang sampai melongo mengetahui hal-hal itu terjadi pasti bukan orang Indonesia, dia mungkin turis dari Swiss yang baru pertama ke sini dan tak pernah baca berita. Turis dari Swiss itu boleh menganggap tradisi ini sebagai sesuatu yang luar biasa, tapi saya yakin kita tidak dan kalaupun menunjukkan sikap gregetan pasti cuma pura-pura.


Dia yang pura-pura tidak menyukai tradisi itu adalah yang mengatakan pertandingan sepakbola harus ditiadakan di tempat yang rawan kerusuhan. Saya katakan itu karena nyatanya kerusuhan dan tawuran sampai baku bunuh bukan cuma di acara pertandingan sepakbola, itu hanya salah satu dari sekian banyak ruang untuk terjadinya aksi unjuk kegagahan manusia di negeri tempatnya para jawara dan pendekar. Orang senang rebut dan gemar bikin kerusuhan ada di mana-mana di negeri ini, tak hanya di sekitar setadion sepakbola atau di jalan raya, bahkan di tempat-tempat ibadah pun sering terjadi. Tawuran anak sekolah hampir setiap hari ada dan lokasinya sering di depan gedung sekolah, berantem di acara dangdutan pun hampir selalu ada,  sekelompok tentara menyerbu pos polisi dan saya yakin andai tak disorot kamera dan diabaikan wartawan para politikus kita di senayan mungkin saja seminggu sekali lempar-lemparan kursi atau kejar-kejaran di lorong-lorong gedung DPR.

Di sekolah guru-guru sering mengatakan kita bangsa ramah tamah yang suka gotong royong, dalam ceramah-ceramah puja-puji pada diri sendiri dan menyalahkan film-film barat sebagai penyebab kelakuan buruk mudah ditemui, ini juga sesuatu yang segolongan—golongan setan yang menyesatkan. Kenapa tidak kita akui saja bahwa permusuhan dan kekerasan adalah buah dari local genius kita. Bukan baru sekarang juga ketika ada media sosial (medsos) orang kita saling mengumpat, menyebarkan kebencian, membuat fitnah dan terang-terangan mengajak untuk menghabisi orang lain, semua itu sudah lumrah adanya sejak zaman nenek moyang. Mental pengecut kita saja yang membuat semua itu jadi semacam bara dalam sekam.

Entah akan sampai kapan bara bersemayam di dalam sekam. Sesekali berkobar lalu lama berupa asap tipis mengalun, andai saat berkobar yang tampak bukan aksi kepengecutan bolehlah semua itu dipelihara, persoalannya yang lebih sering terjadi adalah lempar-lemparan batu, pengeroyokan dan tindakan main belakang. Kalau kepengecutan ini terus dibiarkan tumbuh, setelah masa perang kata-kata lewat medsos mengalami masa jenuh saya khawatir akan hadir zaman yang lebiih menghinakan kemanusiaan.  Apalagi teladan hidup kita sekarang adalah politikus dan artis, kelompok manusia yang gemar buang hajat di meja makan kita.

Semoga Haringga tidak meninggal sia-sia. Semoga kita menyadari bahwa Haringga Risla adalah utusan Tuhan, yang lewat cara yang tragis sedang menggugah batin kita agar mengakui bahwa kita bukanlah apa yang kita pikirkan. Kiamat masih jauh, jangan putus asa, mari tetap berbenah karena sebagai manusia kita penuh dengan salah.

Tidak ada komentar: