Senin, 29 Oktober 2018

BANSER MULIAKAN KALIMAT TAUHID ?


Entah akan sampai di mana panjangnya buntut aksi bakar bendera di Hari Santri Nasional lalu yang dilakukan oleh Banser. Semoga ada hal baru yang bisa mengalihkan perhatian mereka, karena aksi bakar bendera itu (walau disesalkan karena menimbulkan kegaduhan) bukanlah sesuatu yang benar-benar luar biasa. Bendera yang disebut sebagai Bendera Nabi yang di sana ada kalimat tauhidnya, nyatanya cuma kain bendera biasa yang tiap-tiap orang bisa punya gaya berbeda saat memegangnya, begitu pula sikap melecehkan dan memuliakannya. Dan pada kasus ini, yang dilakukan Banser bisa jadi niatnya mulia.


Niat mulia bagaimana? Begini, di masyarakat saya yang umumnya warga NU atau nahdliyin, ada kebiasaan membakar mushaf al Qur’an. Saya juga pernah beberapa kali melakukannya, dan kebiasaan ini bukan dengan tujuan menistakannya tapi justru didasari oleh niat memuliakan al Qur’an. Biasanya yang dibakar al Qur’an yang sudah tua yang sobek-sobek kertasnya dan yang halamannya lepas-lepas. Alasannya jelas, karena takut tercecer dan terinjak-injak atau jadi mainan anak-anak.


Sebagai muslim atau mu’min yang harusnya selalu bersangka baik, saya anggap saja aksi Banser itu diniati agar kalimat tauhid tidak diremeh-temehkan. Sebagaimana kebiasaan membakar lembaran-lembaran kertas yang ada tulisan al Qur’annya atau kertas-kertas bertuliskan huruf arab yang telah saya ceritakan di atas. Muslim tradisional biasanya pula –karena takut kualat—untuk sekedar memegang sebuah benda yang ada tulisan arabnya kalau tidak berwudlu tidak berani melakukannya. Jadi menuduh Banser dengan semena-mena bersalah saya anggap berlebihan.

Kalimat tauhid disablon di selembar kain,  sebagai bendera atau apapun bisa saja kemudian kain itu dijadikan celana kolor atau alas lesehan. Maka bagi warga nahdliyin yang memakai kaos bertuliskan huruf arab ke wece saja merupakan pantangan, menyaksikan ada kain bertuliskan kalimat tauhid dikewer-kewer di keramaian pastinya menimbulkan rasa gelisah. Tapi apa mau dikata, sontoloyo memang bisanya cuma ikut-ikutan, tak mau memahami persoalan lebih dulu langsung ngamuk saja, dikipas-kipasi membakar ke mana-mana.

Setelah para ulama menghimbau agar menyudahi masalah ini (kepada siapapun para pembela agama), sebagaimana sering dikatakan, cara terbaik menjunjung tinggi martabat agama adalah dengan mengamalkannya. Agama melarang sombong, mengharuskan adil, memerintahkan bersangka yang baik-baik pada orang lain, saling membahagiakan dengan ikhlas, insyaallah kalau semua yang perintahkan dilaksanakan dan yang dilarang (gampang marah, bodoh, berpecah belah) dihindari, Islam pasti akan jaya raya. Tapi kalau ke mana-mana pakai peci dan jenggotan, sikapnya angkuh apalagi laku dan bicaranya kasar, itu semua justru bisa membuat citra agama menjadi buruk.

Itu saja, damai agamaku damai negeriku.



Tidak ada komentar: