Sabtu, 25 Agustus 2018

TOA MASJID TIDAK SALAH, KITA YANG SALAH


Pasti ini bukan yang terakhir, pasti akan ada lagi orang yang mempermasalahkannya. Jumlah masjid terus bertambah, jumlah non muslim pun juga bertambah. Ini bisa saja dianggap soal sederhana, tapi sangat mungkin menjadi rumit yang kemudian melibatkan pihak-pihak yang sebenarnya tak perlu terlibat.  Toa masjid, sejak kapankah benda satu ini ada di dunia? Lalu sejak kapan mengganggu telinga anda?


Saya bisa memaklumi siapapun—apalagi mereka non muslim—yang merasa tidak senang karena merasa terganggu oleh suara-suara keras dari rumah ibadah seperti masjid dan musholla. Karena nyatanya, banyak rumah-rumah ibadah kaum muslim itu yang tidak proporsional dalam penggunaan pengeras suara. Sebagai muslim pun sering saya dibuat jengkel, apalagi mereka yang bukan bagian dari komunitas.

Rasa tidak nyaman saya bukan tentang adzan yang waktunya hanya sebentar itu, suara adzan yang tidak nggenah lagunya—tak jauh dari tempat saya ada muadzin yang agar kita bisa tahu yang disuarakannya butuh melihat langsung orangnya, karena kalau cuma mendengar biar seratus kali pun rasanya akan sulit mengenali itu adzan—bagi saya tak melampaui bisingnya suara kereta yang melintas. Orang yang tinggal di tepi rel kereta api pasti akan santai saja ketika tengah malam ada kereta lewat di sebelah kamarnya, dan seorang tamu di sana boleh saja mengeluh, tapi pasti dianggap bodoh kalau sampai menyalahkan kereta yang lewat itu. Saya tidak pernah jengkel dengan muadzin yang payah, karena bisa jadi keadaan yang membuat dia ada di sana. Yang mengesalkan saya adalah ketika toa masjid digunakan tanpa menimbang waktu dan cenderung mengganggu.

Dulu toa cuma ada di masjid jami (masjid utama di desa), musholla atau langgar umumnya tanpa pengeras suara. Kini masjid di satu desa bisa lebih dari dua dan langgar yang jarak satu dengan lainnya bisa cuma puluhan meter sudah pakai pengeras suara semua. Ini juga sering bikin pusing, karena sering langgar yang satu sudah mulai sholat langgar sebelahnya baru adzan atau asyik menembangkan lagu-lagu pujian menunggu jamaah sholat, bagi saya ini bermasalah. Tapi orang dalam—kaum muslim—sejauh ini di sini khususnya tak ada yang menganggap ini masalah. Menunggu kerja tangan penguasa rasanya sulit juga, karena kekuasaan yang ada saat ini pun sedang menanggung banyak masalah.

Masalah ada di mana-mana dan kita bagian dari masalah itu. Dari banyak masalah yang ada kini, masalah seriusnya saya kira adalah tidak merasanya kita sebagai orang bermasalah. Orang tak pernah belajar adzan nekat jadi muadzin jelas salah, belajar baca Al Quran lewat huruf latin berani jadi imam sholat sudah pasti salah, tapi fenomena beginian sekarang mudah ditemui. Seorang pendatang merasa terganggu oleh suara adzan dari musholla yang tak jauh dari tempat tinggal barunya menurut saya salah dan tambah bermasalah ketika mengeluhkannya. Kebiasaan kita yang tak senang mendekat, tak membiasakan diri rapat dan mufakat lalu lebih sering mengumpat jadi lahan subur berkembangnya banyak penyakit sosial ini.

Ibu Meiliana warga Tanjung Balai Sumatra Utara baru saja divonis penjara satu setengah tahun, jelas ini tidak akan memperbaiki masalah-masalah yang ada. Saya hanya berharap, ini bukan benih masalah baru yang akan tumbuh jadi pohon besar yang berbuah lebat. Agama mengarahkan manusia agar hidup lebih baik dan lebih baik, lalu kenapa hidup kita begini?



Tidak ada komentar: