Selasa, 12 Juni 2018

SAHUR SAHUR... MANA THR-NYA?


Pastinya tak cuma di sini di desa saya ada aksi membangunkan orang-orang pada dini hari di bulan Romadlon. Di banyak negara yang komunitas muslimnya mayoritas hal semacam itu lumrah. Saya waktu kecil pun sudah melakukannya, keliling kampung membawa apa saja yang bisa jadi tetabuhan untuk mengingatkan orang pada sahur. Entahlah, apakah aksi tombrang-tombreng ini diperlukan atau mengganggu, sepertinya kini banyak yang mengeluhkannya.


Dulu saat saya ikut tetombrengan, desa saya masih tanpa listrik. Saya kelas tiga atau empat esde dan yang paling besar di antara kami mungkin sekitar tujuh belas tahunan. Keluar masuk gang hanya mengandalkan ketajaman mata yang dibantu kerlip lampu tempel di teras-teras rumah dan benar-benar menikmati benderangnya rembulan jumlah kami waktu itu sampai belasan orang.  Kami yang setiap malam kumpul dan tidur di musholla, biasanya mulai beraksi pada pukul satu selepas tengah malam dan selesai pada setengah tiga.  

Pada masa itu, kebiasaan makan sahur adalah pada pukul dua hingga tiga dini hari—lalu tidur lagi, sampai ada adzan subuh-- bahkan ada yang sahur pada jam dua belas malam sebelum tidur karena takut kesiangan. Musholla yang memiliki pengeras suara hanya satu dua, yang hanya digunakan untuk adzan. Di masjid jami beduk ditabuh sebagai penanda waktu mulai tengah malam setiap satu jam sekali, jadi pada masa itu rasanya warga membutuhkan kami yang dengan gembira mengusik tidur nyenyak mereka.

Dulu kami sekedar lewat untuk membangunkan warga di malam yang gelap dan senyap, kini aksi membangunkan orang seperti sengaja mengganggu orang tidur. Bukan saja alatnya yang kelas berat— karaoke dangdut pakai sound system diarak pakai gerobak—jumlah grup musik ini pun banyak bahkan ada acara berhenti di mulut gang menyanyikan beberapa lagu segala. Mereka yang sedang lelap dan sudah niat sahur di akhir waktu pasti terganggu, karena mereka sudah mulai dangdutan pada setengah dua ketika beberapa orang ada yang baru berangkat tidur setelah tadarus.

Kini ketika Hari Lebaran tinggal beberapa kali tarikan nafas, mereka ternyata sudah tidak lagi berisik, tentu bukan karena banyak warga yang protes atas ulah mereka, mereka berhenti sendiri setelah dua hari lalu mereka keliling siang bolong sambil mendatangi rumah-rumah meminta bayaran karena merasa berjasa membangunkan orang untuk makan sahur. Mereka pada dasarnya berniat cari uang, dan mereka menyebalkan bukan saja karena mengganggu orang tidur, gaya mereka ketika meminta uang pun seperti pengamen gaya baru yang pakai tampang sangar.

Hari Lebaran yang identik dengan segala sesuatu yang serba baru dan kontes kepemilikan, pada akhirnya tidak hanya melahirkan tradisi mudik yang irasional, ternyata juga memunculkan preman-preman kampung yang memanfaatkan tradisi dalam aksinya meresahkan warga, dari ngamen di malam buta, minta uang THR kepada pedagang pasar sampai meminta uang parkir di depan mini market yang nyata-nyata di sana ada tulisan “PARKIR GRATIS”. Belajar dari siapa sebenarnya kita selama ini?

Tidak ada komentar: