Setelah sekian lama tak menyaksikan dari dekat
peringatan Hari Kartini, tahun ini saya berkesempatan melihat bagaimana
anak-anak Sekolah Dasar memeriahkan agenda tahunan ini. Sudah tradisi, setiap
tiba Hari Kartini tiap tanggal 21 April, akan ada perempuan-perempuan—dari
anak-anak sampai manula--berkebaya dikumpulkan di suatu tempat dan menjadi
tontonan. Tak cuma jadi tontonan,
biasanya ada juri yang menilai bagusnya kebaya yang dikenakan atau diadakan
lomba luwes-luwesan berjalan pakai kebaya.
RA Kartini di foto memang mengenakan kebaya, jadi
kiranya tak salah kalau kemudian memeringati Hari Kartini yang tujuannya agar
generasi masa kini meneladani cara hidup beliau itu, adalah dengan berkebaya. Tentu
itu hal yang paling mudah dalam meniru seseorang, yang di sana pasti ada
harapan sebagai awal sebelum meniru semangat hidup dan perjuangannya. Saya tidak
tahu apakah peringatan Hari Kartini dengan berkebaya dilakukan dari Sabang
sampai Merauke? Yang pasti sebagai orang Jawa yang hidup hanya bolak-balik di
Pulau Jawa, yang saya tahu cuma yang begitu: berkebaya, berias di salon, dan
foto-foto.
Dalam banyak kesempatan memeringati Hari Kartini,
sebenarnya tak melulu adu kebaya yang terjadi, karena sekolah-sekolah dan
instansi-instansi milik Negara menyelenggarakan upacara bendera yang di
dalamnya ada pidato mengenai sosok Ibu Kita Kartini yang peduli pada pendidikan
kaum perempuan dan beliau yang tekun
menuliskan pengalaman hidupnya—dalam surat-menyurat—yang akhirnya menghaslkan
“Habis Gelap Terbitlah Terang”. Cuma untuk meneladani sikap beliau yang peduli
pada yang lemah, lalu rajin menulis, tentu tidak mudah apalagi budaya yang
tumbuh kembang di sini tak pernah serius diarahkan ke sana.
Apalagi meneladani RA Kartini yang bagi beberapa
orang tidak begitu istimewa, karena sosok yang lebih dari beliau memang banyak
di negeri ini dulu maupun sekarang. Bahkan sosok Nabi Muhammad SAW yang
dimuliakan di seluruh dunia oleh umat muslim—di Indonesia konon mayoritas
penduduknya muslim—dan dipuja-puji sebagai sosok manusia termulia pun pada kenyataannya
tak beda dengan RA Kartini itu, kita bisa lihat orang-orang mengekspresikan
keislaman dirinya dengan berpakaian gaya orang Arab (dianggapnya begitu Nabi
berpakaian) dan memelihara jenggot karena Nabi berjenggot. Tapi soal akhlak
mulia beliau, hampir sulit menemukan orang yang serius meneladaninya.
Kita tentu berharap ada gerakan baru di era Indonesia
Baru sekarang ini, ketika kita telah sama-sama menyadari kerusakan di negeri
ini sudah meliputi Sumber Daya Manusia dan Sumber Daya Alam-nya. Apalagi tidak
mudah membenahi masalah dari dalam, di mana kita yang di dalam sangat mungkin
adalah bagian dari masalah itu. Tapi mengingat kita punya banyak modal,
seperti: kesadaran diri sedang bermasalah, memiliki manusia-manusia unggul di
masa lalu yang bisa diteladani, dan banyaknya orang yang menginginkan
perubahan, gerakan pembenahan diri sangat mungkin berlaku massif, walau tentu
saja syetan-syetan akan lebih agresif dalam mengacau.
Sampai di sini menjadi jelas pentingnya peringatan
Hari Kartini dan peringatan-peringatan orang besar lainnya. Walau kini kita
lebih banyak salah bersikap, pastinya masih ada peluang memperbaiki keadaan.
Berkebaya tentu saja tidak salah di Hari Kartini atau memakai gamis di segala
tempat sepanjang waktu, namun penyadaran akan pentingnya meneladani laku hidup
dan spirit perjuangan tokoh yang kita puja itu harus diutamakan dalam setiap peringatan-peringatan. Jangan sampai
yang terjadi justru kita membangun eksistensi diri di atas mereka yang telah
nyata membuktikan kemuliaan dirinya. Kita bersenang-senang dan berbangga-bangga
sampai lupa bahwa sesungguhnya kita sedang menginjak-injak martabat para
teladan kita.
3 komentar:
bener kang yang terpenting adalah nilai nilai baiknya dijadikan teladan. supaya trbentunya generasi emas.
semoga anak anak kita bsarnya nanti menjadi pemuda pemudi yang memiliki nilai - nilai luhur para pejuang. aamiin
amin amin ya robbal alamin
Posting Komentar