Minggu, 26 April 2015

Catatan Tengah Malam

Baru saja saya membaca berita, siang hari ini (26.4.2015) telah ditemukan orang meninggal yang sudah jadi kerangka di rumah tinggalnya di daerah Jakarta Barat. Saya bayangkan saat ini warga yang tinggal di samping rumah mayat itu sedang ngobrol dan satu dua mengekspresikan keperihatinan atau kekagetan. Saya juga pasti akan bersikap begitu. Seperti beberapa waktu lalu ketika di kelurahan tempat saya tinggal di kawasan Jakarta Selatan juga ada kasus yang sama, seseorang ditemukan sudah jadi tengkorak di rumahnya, saya kaget dan tak habis pikir, kenapa sampai bisa terjadi padahal perkampung sudah begitu padat.
 
Bukan hal baru ternyata kasus semacam ini. Setidaknya dalam kurun waktu tak sampai tujuh tahun ingatan saya merekam ada kasus ketidakpedulian yang berakibat tragis. Di Depok seorang perempuan tunawisma yang sedang hamil diketahui setelah melahirkan di sebuah rumah kosong membakar dan memakan bayinya sendiri.  Menurut berita warga yang mengetahui kondisi wanita itu saat hendak melahirkan sempat ada yang mencoba mengantarkan ke sebuah rumah sakit tapi hanya sampai di pintu gerbangnya. Lalu ada seorang ibu dan anak-anaknya mati kelaparan di Makasar. Dua yang terakhir di Jakarta, kakek-kakek ditemuakan di rumahnya sudah menjadi tengkorak.

Ada apa ini? saya kira tak perlu dicari jawabannya, kita semua sudah tahu. Kita hidup siang malam berdesak-desakan di bumi yang sudah penuh ini, namun kalau mau jujur kita muak dengan segala yang kita alami. Ibaratnya, andai diberi kesempatan tinggal sendiri dengan segala fasilitas yang memadai pasti akan memilih tinggal sediri daripada bersama. Kita juga begitu lamis dalam pergaulan. Akrab dan siap bekerjasama dengan orang lain lebih karena ada keuntungan materi, andai tak ada pasti ditinggal pergi.

Itulah kenapa kita lebih senang asyik dengan gadget padahal sedang berkumpul dengan komunitas. Pergaulan yang berorientasi material kini benar-benar telah menimbulkan trauma pada individu-individu. Pastinya sesakit apapun mental kita, kita akan merasa baik-baik saja, seakan tak ada hal serius yang menjangkit. Cuma fakta begitu gamblang, dan entah sampai kapan kita sembunyi di balik baju-baju gamis, di rumah-rumah ibadah, di dalam omongkosong tentang kebaikan. Tak lagi cukup pastinya seribu cermin untuk bisa menyadarkan diri bahwa wajah yang kita anggap bagus ini ternyata begitu mengerikan.


Sampai di sini tak akan saya lanjutkan, rasanya lebih baik kita l;upakan…

Tidak ada komentar: