Dokter punya banyak cara, dan pasti Tuhan juga. Cuma pasti Tuhan punya
lebih banyak karena Dia tahu segalanya. Tuhan juga tidak terhingga motifnya
dalam bekerja, sehingga tidak remeh temeh cara-cara-Nya. Dokter? Seberapa hebat
reputasinya dan seberapa banyak manusia yang berharap pada pertolongannya,
apabila dalam bekerjanya hanya uang motifnya, bagaimanapun canggih cara
kerjanya tetap saja bisa direken.
Dokter bisa saja mengaku bekerja demi kemanusiaan, tapi tetap saja kebohongan
bisa dikenali.
Seperti di berita ini: tanggal 30/10/2014 lalu Bupati Tegal Ki Dalang
Enthus melakukan sidak ke RSUD Dr. Soesilo Slawi dan mendapati banyak pasien
menunggu, yang ternyata si dokter belum datang padahal sudah hampir jam sepuluh siang.
Jelas sekali si dokter punya banyak cara untuk hidup, pada jam kerja masih
belum datang ke kantor pasti ada duit di tempat lain. Maka Pak Bupati pun
mendatangi rumah si dokter yang ternyata pada pukul sepuluh memang masih terima
pasien di rumah. Karena merasa punya banyak cara, mengetahui ada bupati sedang
menunggu di ruang tunggu pasien si dokter langsung nylintis meninggalkan rumah lewat pintu lain. Tapi Tuhan Maha Tahu
dan Maha Kuasa, diperintahkanlah Pak Bupati datang lagi ke RSUD, dan si dokter
langsung didamprat sampai mukanya raup
idu.
Lewat berita itu saya merasa Tuhan dengan caranya telah membuat seorang
hamba (mungkin lebih) yang dadanya sesak
oleh segala peristiwa yang berlangsung di Gedung DPR menjadi tersenyum lega. Seorang
hamba yang sering kecewa, seorang hamba yang masih bengong bertanya-tanya apa alasan
Presiden Jokowi memilih Puan Maharani jadi Menko Pembangunan Manusia dan
Kebudayaan. Dan seorang hamba itu siapa lagi kalau bukan aku.
Ada dokter dimaki-maki senang? Ya, karena pengalamanku dengan dokter sejauh
ini lebih banyak kecewanya daripada puasnya. Bude-ku dulu pergi dalam keadaan
baik-baik ke dokter, pulang ke rumah setelah minum obat justru linglung dan
tidur terus lalu meninggal. Bapakku datang ke RSUD Slawi bisa jalan, setelah
diini-itu langsung nggletak beberapa hari tanpa kejelasan di mana dokternya dan
meninggal. Aku pun setiap kali (dengan terpaksa) datang ke dokter, hanya dapat
obat tanpa kejelasan tentang penyakit, dan kalau nekat tanya ini itu biasanya
si dokter belagak sibuk (aku menduga dia tak tahu apa-apa selain jualan obat).
Dokter adalah salah satu profesi dari sekian banyak profesi yang dianggap
istimewa di negri ini. Sosoknya selalu dihormati, mungkin karena dianggap mampu
membuat orang sakit menjadi sehat dan selalu saja orang-orang gampang merasa
sakit daripada merasa sehat. Tapi bagiku dokter tidak istimewa, maka ketika ada
dokter dimaki-maki di tempat umum di depan orang banyak, sangat melegakan
karena warga bisa sadar bahwa dokter juga manusia, manusia yang sangat mungkin
dalam bekerja tujuannya hanya untuk mendapat uang. Harapanku pasien bisa lebih
berani nantinya dalam menuntut hak, daripada sekedar nurut dijejali obat dan
tampang berwibawa.
Bupati Enthus juga pastinya dapat banyak pujian dari aksinya, sebagaimana
Ibu Risma (Walikota Surabaya) dan Mas
Ganjar (Gubernur Jawa Tengah) marah-marah di layar televisi beberapa waktu
lalu. Tapi apa artinya marah-marah di tempat umum kalau kemudian cuma sekedar
itu. Membayangkan diri jadi pimpinan yang memaki-maki bawahan, terpikir jangan-jangan
setelah selesai memaki-maki dan pergi justru jadi bahan tertawaan oleh dia yang
baru dimaki-maki bersama kawan-kawannya.
Ah, sudahlah. Sekarang memasuki era Indonesia Baru bersama presiden baru,
semoga saja nanti ada banyak hal baru yang bisa membuat kita terharu.
2 komentar:
Waduh, top banget tulisannya! Kenapa? karena saya pernah mengalami hal yang sama, kecewa pada 'ahli medis'. Dokter sudah seperti Tuhan saja tidak boleh di ganggu gugat. Apa katanya mesti benar, mungkin itu yang membuat mereka jumawa.... memang patut ditiru si bapak Bupati itu, agar jangan semena-mena dalam dedikasinya ^_^b
banyak yang mengalami kekecewaan dalam hal pelayanan kesehataan di negri ini, maka tak aneh dukun lebih laku
Posting Komentar