Senin, 24 Mei 2010

Tentang Sikap Keterlaluan


Pengacara J. Van den Brand pada tahun 1902 dalam brosur De millioenen van Deli (Berjuta Dana dari Deli) menceritakan kejadian yang dialami oleh seorang kenalannya.

“Sudah menjelang pukul sebelas ketika saya, sesudah perjalanan panjang di bawah terik matahari melalui jalan yang berdebu, tiba di rumah asisten X di perkebunan T. Tuan X ternyata belum pulang dan saya duduk di beranda depan menunggu kedatangannya. Baru saja saya duduk, tiba-tiba saya mendengar suara perempuan melolong, yang tampaknya berasal dari kolong rumah. Sampai di bawah, saya melihat seseorang perempuan Jawa, kira-kira berumur limabelas, enambelas tahun, diikat pada tiang di bawah kolong rumah, dalam sikap Kristus disalib. Untuk memungkinkan hal itu, dipaku palang pada tiang tersebut, untuk mengikat lengan perempuan itu. Matahari menyinari sebagian tubuhnya yang telanjang bulat, tetapi itu tidak menjelaskan rintihan dan lolongan perempuan itu—di Belanda dia masih disebut anak gadis.
Pembantu rumah tangga menjelaskan kepada saya. Perempuan itu memilih cinta tanpa pamrih dari seorang laki-laki yang berasal dari suku yang sama ketimbang cinta bayaran dari tuan X dan itulah sebabnya tuan X suruh dia diikat seperti itu. Untuk mencegah perempuan itu pingsan akibat hukuman kejam itu, dia menyuruh alat kelamin perempuan itu digosok dengan sambel ulek. Saya rasa hal itu sungguh keterlaluan dan saya pergi melanjutkan perjalanan saya. Menurut kabar yang saya dengar gadis itu dari pukul enam pagi sampai enam sore dibiarkan demikian.”
Dari Geert Mak; Abad Bapak Saya; hal: 195-196, 2009.

Dari kutipan di atas saya merasa bergidik ketika membacanya dan mungkin banyak pula yang merasakan hal yang sama, meski cerita tentang prilaku-prilaku keterlaluan semacam itu gampang ditemui di koran-koran dan banyak film mempertontonkan hal semacam itu. Perasaan ini juga sama dengan ketika saya secara kebetulan melihat tayangan vidio di PC seorang teman yang isinya seorang gadis berjilbab melolong-lolong karena ditelanjangi dan diperkosa rame-rame. Hal-hal keterlaluan yang saya tak bisa membayangkan andai hal itu terjadi pada keluarga saya.

Yang menarik dari kutipan di atas menurut saya adalah bahwa gadis itu “memilih cinta tanpa pamrih...ketimbang cinta bayaran dari tuan X” yang berarti dia seorang gadis yang memiliki harga diri yang tinggi. Padahal penolakan yang dilakukan gadis itu sudah pasti diketahui beresiko, mengingat tuan kulit putih pada waktu itu diceritakan bisa seenaknya meminta istri atau anak gadis kulinya, tanpa ada pembela bagi yang lemah. Dan mungkin menjadi perempuan bayaran tuan kulit putih lebih menyenangkan keadaannya dibanding menjadi istri kuli perkebunan yang tak beda stastusnya dengan budak.

Saya tidak tau pasti kenapa saya menuliskan ini di sini, tapi rasanya begitu banyak peristiwa keterlaluan bahkan mengerikan terjadi di lingkungan kita akhir-akhir ini dan perasaan ini sepertinya kian hari kian tumpul. Kita gampang mengucap kata kasihan, tapi sulit untuk mengulurkan tangan. Lebih dari itu kesempatan menyakiti sesama begitu luas di jalan kita setiap saat. Semoga catatannya bermanfaat.

Tidak ada komentar: