Sabtu, 24 April 2010

Menimbang Satpol PP

Pagi masih lengang di sebuah jalan kampung di kawasan Pasar Minggu  pada hari Minggu. Seorang bocah asyik bersepeda di sebuah gang.  Tiba-tiba dia berbalik arah ketika dilihatnya di ujung gang tampak melintas mobil satpol PP dan berseru, “Ada satpol PP, ada Satpol PP."  Seorang bocah lain yang sedang duduk di beranda rumah menimpali sekenanya, “Gebuki gebuki.” Berasa lucu menyaksikan kejadian itu, tapi sejenak kemudian saya tertegun. Apakah ini sekedar kelakar anak-anak atau jangan-jangan serius? Pertanyaan itu terus berputar-putar di kepala hingga saat ini.

Sempat tak beredar di tempat umum beberapa hari setelah kejadian bentrok di Tanjung Priuk,  Satpol PP atau Satuan Polisi Pamong Praja, petugas penjaga ketertiban daerah yang di Jakarta jadi momok bagi pedagang asongan dan gelandangan itu kini telah kembali ke jalan. Tentu tak lagi atau belum menakutkan. Seperti di Monas, yang biasanya sepeda motor tak diperbolehkan masuk kini dapat bebas berkeliaran. Jam buka yang telah dibatasi waktunya hanya sampai jam duabelas malam kini tak lagi berlaku--setidaknya karena tak ada penjaganya.

Satpol PP memang sedang jadi bahan kajian serius. Setelah kerusuhan yang mengakibatkan jatuhnya banyak korban luka-luka sampai ada yang tewas, keberadaan dan fungsinya terus dipertanyakaan. Tuntutan untuk pembubarannya pun dilakukan beberapa pihak, meski tak sedikit yang tetap ingin agar dipertahankan dengan perbaikan tentunya.

Menyaksikan keberadaan mereka yang berpakaian seperti tentara memang membingungkan, sebenarnya apa fungsi keberadaannya. Setelah tentara sebagai penjaga keamanan negara, polisi sebagai penjaga ketertiban di dalam negara, satpol PP ini apa sesungguhnya. Dikatakan oleh seseorang yang mengetahui banyak hal tentang Satpol PP ini, katanya fungsi awalnya sesungguhnya hanya penjaga gedung-gedung pemerintah.

Jika memang demikian, mengembalikan fungsi satpol PP seperti semula  bisa jadi pilihan menarik. Karena membubarkannya jelas beresiko, mau dikemanakan jumlah personil yang banyak itu. Menjadikan mereka sebagai petugas keamanan di gedung-gedung kantor milik pemerintah, di pasar, di taman-taman kota atau di daerah wisata dengan pakaian sipil akan menjadikannya lebih simpatik. Tinggalkan gaya militeristik diganti dengan keramahan.


Harus dicamkan bahwa masyarakat sudah lelah ditakut-takuti oleh aparat yang bergaya militer. Lelahnya masyarakat yang telah menjadi kebencian telah nyata beberapa hari lalu di peristiwa Priok. Maka kondisi saat ini dapat dijadiakan momentum bagi perbaikan cara penanganan ketertiban di negeri ini yang selama ini bersifat menenkan. Rakyat atau golongan masyarakat yang berada di tingkat bawah adalah pemilik negara ini yang jumlahnya terbanyak, Satpol PP harus berpihak ke sana. Jika tidak bisa , dibubarkan pun tak apa rasanya.

Tidak ada komentar: