Rabu, 17 Februari 2010

Demonstrasi Oh Demonstrasi


Bagi masyarakat jakarta menyaksikan demonstrasi di jalanan merupakan hal biasa. Hampir setiap hari di era kebebasan berpendapat sekarang ini demonstrasi berlangsung dalam sekala kecil atau besar-besaran. Pelakunya dari beragam elemen masyarakat, tuntutannya pun bermacam-macam. Tak melulu dari kalangan mahasiswa atau dari kalangan buruh rendahan yang lazim ditemui di banyak negara. Bahkan sampai pekerja kantoran pun melakukan demonstrasi. Ada pula aksi warga suatu komplek perumahan, kelompok ibu-ibu rumah tangga, pernah juga para artis.

Mengamati aksi-aksi demo jalanan yang banyak juga berlangsung di penjuru negeri ini, umumnya atau bisa dikatakan semua, mereka melakukannya dengan cara yang serupa. Berkumpul beberapa orang atau massa yang entah datang sendiri-sendiri atau berkelompok dengan menyewa kendaraan, kemudian ada satu atau beberapa orang melakukan orasi menggunakan pengeras suara. Massa biasanya meneriakan yel-yel atau menyanyikan lagu-lagu yang telah diplesetkan. Ada poster dan sepanduk yang diarak di jalanan atau sekedar dibentangkan di pinggir jalan.

Tak perlu berpikir panjang untuk mengetahui apa tujuan aksi semacam itu, tentunya mudah dikenali oleh siapapun bahwa semua itu untuk mengundang perhatian. Dan tentu tidak sama perhatian yang di harapkan oleh masing-masing pelaku demonstrasi itu. Ada yang mengharapkan dukungan masyarakat luas atas apa yang mereka tuntutkan, ada juga yang sekedar biar dianggap mereka ada sebagai suatu kelompok tertentu. Di zaman ketika media informasi berlimpah ruah aksi jalanan rasanya cukup efektif untuk mendapat apa yang mereka inginkan.

Tapi aksi-aksi jalanan semacam itu pada akhirnya mengesankan sebagai ekspresi egosentrisme. Dengan masalah yang mereka bawa beramai-ramai di tempat umum dan beresiko menimbulkan masalah baru yang meluas, seakan para pelaku itu hanya peduli dengan diri mereka sendiri. Walaupun banyak dari mereka melakukan aksi tersebut mengatasnamakan kepentingan rakyat atau negara, tapi dengan akibat ada banyak pihak yang merasa dirugikan, yaitu mereka para pengguna jalan raya yang terkena macet dan merasa dibuat kesal, tujuan mulia mereka jadi dipertanyaakan kejujurannya.

Apalagi kini, ketika telah jadi pengetahuan umum bahwa para demonstran ternyata mendapat bayaran. Mereka biasanya terdiri dari kumpulan anak-anak muda pengangguran, preman-preman pasar yang potensial menimbulkan kerusuhan. Maka tak dapat disalahkan kalau kini mulai banyak orang yang tidak simpati dengan aksi semacam itu. Mereka hanya mengandalkan semangat bahkan mungkin kemarahan sehingga tak mampu menimbang dampak-dampak negatif yang timbul. Saksikan saja setiap usai aksi demonstrasi, sampah berserakan di jalanan, taman-taman rusak dan tentu saja kemacetan yang menghasilkan sumpah serapah.

Harus Berubah
Ada ungkapan orang miskin di negeri ini dilarang bersekolah. Hal ini mengingat tingginya biaya sekolah di negeri ini. Sekolah adalah sarana pendidikan, jadi kalau sekolah dilarang bagi orang miskin yang ternyata mayoritas di manapun di dunia tak terkecuali di indonesia artinya masyarakat kebanyakan terjauh dari pendidikan. Pendidikan yang dapat membuat manusia menyadari kemanusiaannya sehingga dapat meningkat derajat dan martabatnya. Fakta ini menarik dikaitkan dengan budaya demonstrasi, yakni seandainya demonstrasi dapat dijadikan alat pendidikan untuk memberdayakan masyarakat secara umum. Khususnya para demonstran mahasiswa yang mereka sedang bergiat dalam dunia keilmuan, setiap hari mengkaji pengetahuan, menganalisa persoalan kehidupan akan menarik jika persoalan-persoalan di dalam kampus dibawa ke wilayah masyarakat.

Maka daripada berpanas-panasan dan mengganggu lalu-lintas dengan berorasi di badan jalan sedang mereka berorasipun didepan teman-teman mereka sendiri yang setiap hari mereka temui dan berdiskusi, akan lebih baik demo dilakukan di tempat-tempat berkumpulnya warga kebanyakan yang rendah pendidikan. Demo bisa dilakukan di pasar, di terminal, di puskesmas atau di taman-taman tempat berkumpulnya manusia. Tak perlu ratusan bahka ribuan orang dalam berdemo, cukup beberapa orang saja, berorasi kemudian mengajak berdialog siapapun yang ada dilokasi. Sampaikan beberapa pertanyaan dan tampung keluhan-keluhan mereka. Beri penjelasan-penjelasan mengenai persoalan-persoalan penting yang layak diketahui dengan benar. Seandainya hal ini dapat berlangsung di seluruh plosok negeri dapat dibayangkan akan mudah pada akhirnya ketika harus menggoyang penguasa yang lalim. Masyarakat yang sadar posisi tak akan mudah dikelabuhi dan diombang-ambing. Apa yang ada sekarang masyarakat kita tak benar-benar paham atas masalah yang berlangsung dalam hidup mereka. Mereka pada akhirnya terus asal tunjuk dan salah menyalahkan, lalu ketika sulit mencari siapa lagi yang bisa disalahkan, maka dirinya sendirilah yang harus menanggung beban tak tertahankan. Kalau semakin banyak yang mengalami persoalan semacam ini keputusasaan akan menjadi wabah yang mengerikan.

Rasaanya siapapun sulit menolak bahwa pemerintah kita saat ini sebagai sekelompok orang yang bermasalah. Namun menyaksikan orang-orang berteriak memaki-maki di jalanan mengganggu ketertiban menjadikan orang-orang awam kebingungan dan membuat sulit menentukan siapa yang harus dibela pada akhirnya. Padahal penguasa dengan segala sarana yang mereka miliki gampang untuk mengolah citra dan meraih simpati massa.

Demo semacam ini bisa dikatakan sebagai aksi gerilya. Pasti tak banyak yang memperhatiakan aksi semacam ini, karena mungkin tak ada publikasi besar-besaran. Demo tanpa massa melimpah tak akan jadi berita menarik bagi televisi, tapi publikasi tetap dapat dilakukan melalui media internet. Dalam aksi demo ini yang ditekankan adalah kualitas. Tujuannya mendekatkan mahasiswa dengan masyarakat dan masyarakat dapat tercerahkan agar mampu melihat persoalan dengan jernih. Masyarakat yang berbobot akan membuat pemerintah berpikir berulang-ulang ketika akan menjalankan politik manipulatif. Intelektual sejati berjuang demi perbaikan bersama tidak sekedar mencari kesenangan sendiri, berasyik-asyik, onani.

Tidak ada komentar: