Kamis, 24 Januari 2008

Tentang Keputusasaan




Menyimak berita tentang mahalnya biaya hidup harian, biaya sekolah, mahalnya tarif selular juga harga minyak dan kedelai yang terpikir adalah tentang orang-orang yang punya kuasa di negri ini tengah bermain-main. Mereka sebagaimana iblis yang putusasa karena kesombongannya tak memberikan kebaikan –kekuasaan dan kemewahan justru menjadi beban- berupaya agar makhluk lain pun mengalami keputusasaan pula. Ditebar oleh mereka benih-benih kesulitan di manapun tempat yang memungkinkan semua tumbuh. Mereka yang tak sanggup menanggung beban seperti berusaha membuang beban dengan cara membuat sebanyak mungkin orang menanggung kesusahan

Itu sebuah pikiran atau sekedar sangkaan yang mungkin saja salah. Tapi itu telah muncul dan sudah dituliskan di sini. Ditulis sebagai ekspresi keputusasaan juga yang telah tumbuh lebat di pelataran rumahku. Rumahku yang jauh terpencil dan tak mungkin dikenali di peta Indonesia. Rumahku di sebuah desa atau mungkin juga sebuah kota. Yang pasti ini tempat yang gelap oleh tumbuh lebatnya keputusasaan. Sebuah tempat yang anda kalau pernah mendengar cerita tentang desa, yang banyak diceritakan orang sebagai tempat yang damai dengan warga yang selalu siap untuk bergotong royong, saling menolong kini siap-siaplah untuk melupakan. Juga tentang kota yang selalu terang benderang siang ataupun malam, abaikan saja. Semua telah sulit dikenali, dalam suasana yang sulit pula dinamai.

Kini sepertinya setiap orang di manapun seperti merasa sebagai yang paling berhak atas keuntungan. Sikap hidup kian membabi buta dengan mengabaikan hati nurani. Seruduk sana seruduk sini demi timbunan harta yang harus terus meninggi.Uang telah menjadi kiblat hidup manusia. Bukan hanya saat terjaga, dalam ketaksadaran pun uang muncul dalam igauan, dalam sholat uang jadi wiridan, segala hal dimaknai pakai uang. Beragama untuk uang. Menolong karena uang. Tidur demi uang sampai berpakaian dalam juga bergumam pun tujuannya uang. Keputusasaan telah memendekan jangkauan pemikiran manusia.

Ayah berkelahi dengan anak karena masalah harta, saudara mengenakan tarif kepada saudaranya yang dalam kesulitan dan butuh bantuan segera, tetangga mencuri barang milik tetangganya dengan bangga, semua merupakan fenomena harian. Fenomena yang diacuhkan bahkan jadi hiburan di layar televisi. Sesuatu yang terus dirayakan dengan gegap gempita hampir tanpa jeda. Benar-benar sesuatu yang mengerikan karena hidup masih terus berlangsung.

Dan karena hidup masih akan terus berlangsunglah tulisan ini ada. Hidup yang diberikan Tuhan adalah kesempatan; selagi umur masih dikandung badan perjuangan wajib dilakukan. Bukan perjuangan untuk menjadi orang yang paling rakus mengumpul harta benda dan menimbunnya seperti Qorun, tapi perjuangan mengatasi keputusasaan yang membelit jiwa. Keputusasaan yang bekerja laten dan terus dilupakan sebagai bagian hidup.

Hiburan-hiburan yang beraneka rupa mungkin bisa dijadikan obat yang bisa melupakan persoalan-persoalan ini. Tapi akankah terus semua kegelisahan diingkari? Disembunyikan di balik timbunan kebanggaan yang semu untuk kemudian dibawa ke alam kubur kelak ketika mati. Semoga saja tidak.

Tidak ada komentar: