Pastinya
tak cuma di sini di desa saya ada aksi membangunkan orang-orang pada dini hari
di bulan Romadlon. Di banyak negara yang komunitas muslimnya mayoritas hal semacam
itu lumrah. Saya waktu kecil pun sudah melakukannya, keliling kampung membawa
apa saja yang bisa jadi tetabuhan untuk mengingatkan orang pada sahur.
Entahlah, apakah aksi tombrang-tombreng
ini diperlukan atau mengganggu, sepertinya kini banyak yang mengeluhkannya.
Dulu
saat saya ikut tetombrengan, desa
saya masih tanpa listrik. Saya kelas tiga atau empat esde dan yang paling besar
di antara kami mungkin sekitar tujuh belas tahunan. Keluar masuk gang hanya
mengandalkan ketajaman mata yang dibantu kerlip lampu tempel di teras-teras
rumah dan benar-benar menikmati benderangnya rembulan jumlah kami waktu itu sampai
belasan orang. Kami yang setiap malam
kumpul dan tidur di musholla, biasanya mulai beraksi pada pukul satu selepas
tengah malam dan selesai pada setengah tiga.
Pada
masa itu, kebiasaan makan sahur adalah pada pukul dua hingga tiga dini hari—lalu
tidur lagi, sampai ada adzan subuh-- bahkan ada yang sahur pada jam dua belas
malam sebelum tidur karena takut kesiangan. Musholla yang memiliki pengeras
suara hanya satu dua, yang hanya digunakan untuk adzan. Di masjid jami beduk ditabuh
sebagai penanda waktu mulai tengah malam setiap satu jam sekali, jadi pada masa
itu rasanya warga membutuhkan kami yang dengan gembira mengusik tidur nyenyak mereka.
Dulu
kami sekedar lewat untuk membangunkan warga di malam yang gelap dan senyap, kini
aksi membangunkan orang seperti sengaja mengganggu orang tidur. Bukan saja alatnya
yang kelas berat— karaoke dangdut pakai sound system diarak pakai gerobak—jumlah
grup musik ini pun banyak bahkan ada acara berhenti di mulut gang menyanyikan
beberapa lagu segala. Mereka yang sedang lelap dan sudah niat sahur di akhir
waktu pasti terganggu, karena mereka sudah mulai dangdutan pada setengah dua ketika
beberapa orang ada yang baru berangkat tidur setelah tadarus.
Kini
ketika Hari Lebaran tinggal beberapa kali tarikan nafas, mereka ternyata sudah
tidak lagi berisik, tentu bukan karena banyak warga yang protes atas ulah
mereka, mereka berhenti sendiri setelah dua hari lalu mereka keliling siang bolong sambil mendatangi rumah-rumah meminta bayaran karena merasa berjasa
membangunkan orang untuk makan sahur. Mereka pada dasarnya berniat cari uang,
dan mereka menyebalkan bukan saja karena mengganggu orang tidur, gaya mereka
ketika meminta uang pun seperti pengamen gaya baru yang pakai tampang sangar.
Hari
Lebaran yang identik dengan segala sesuatu yang serba baru dan kontes
kepemilikan, pada akhirnya tidak hanya melahirkan tradisi mudik yang irasional,
ternyata juga memunculkan preman-preman kampung yang memanfaatkan tradisi dalam
aksinya meresahkan warga, dari ngamen di malam buta, minta uang THR kepada
pedagang pasar sampai meminta uang parkir di depan mini market yang nyata-nyata
di sana ada tulisan “PARKIR GRATIS”. Belajar dari siapa sebenarnya kita selama
ini?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar