“Susu
saya susu bendera.” Saya yakin masih banyak yang ingat dengan slogan iklan sebuah produk susu kemasan tekenal ini. Bunyi
yang enak didengar seenak produknya itu entah sejak kapan tidak beredar, saya
baru sadar belakangan setelah ramai di media soal produk susu kental manis yang
katanya bukan susu. Lalu sejak kapan pula susu kental manis bukan susu?
Saya
sendiri sudah lama tahu bahwa di kemasan produk susu kental manis merek Bendera yang tertuls di sana Krimer Kental
Manis atau Bendera Kental Manis. Ada tulisan susu kental manis tapi kecil dan
hampir tidak kelihatan, padahal dulu seingat saya tulisannya Susu Kental Manis.
Di produk bermerek Indomilk sepertinya tulisannya masih susu kental manis, jadi
apakah dua produsen ini memproduksi sesuatu yang berbeda atau bagaimana?
Dalam
ingatan saya, semenjak krisis moneter dua puluh tahun lalu, banyak sekali
produk lama yang kini masih beredar di pasar mengalami penurunan kualitas yang luar biasa.
Wajar saja, untuk mengatasi daya beli produsen harus menyiasati produknya agar
tidak hilang di pasaran—apalagi produk itu sangat laku. Maka kalau kita temui
barang model lama dengan bentuk yang sama kini kualitasnya berbeda jauh diharap maklum
karena seperti kata orang: harga nggak bisa bohong.
Sekarang
bisa jadi sudah jelas bahwa yang selama ini kita kenal sebagai susu kental
manis bukanlah susu, tapi pastinya produsen tak benar-benar membohongi kita
para konsumen setianya. Saya yakin banyak yang sadar produk itu bukan susu
sungguhan atau cuma mengandung sedikit susu (bisa juga warnanya yang mirip
warna susu) sebagaimana produk minuman kemasan rasa buah-buahan yang dikemas
menarik dengan harga murah meriah yang kini digemari anak-anak. Susu yang encer
saja dengan kemasan kecil (susu cap Beruang) harganya Rp 8000,- masa susu yang
telah diperas kadar airnya hingga menjadi kental dengan kemasan lebih besar
harganya tidak jauh berbeda?
Kalau
rebut-ribut soal susu kental manis memang serius, harusnya tak cuma produk susu
kental manis saja yang digugat, banyak produk minuman atau makanan kemasan lain
yang saya yakin benar-benar membohongi konsumen. Dan soal pedagang berbohong,
saya jadi ingat seorang teman yang berjualan es jeruk di Terminal Kampung
Melayu sekian tahun lalu: Dia berjualan minuman rasa jeruk pakai gerobak yang
sehari bisa menghabiskan lebih dari dua derigen besar air yang dia ambil dari
sumur pompa tak jauh dari terminal. Untuk biangnya dia menyampur pewarna
kuning dan pemanis biang dengan segayung
air yang kemudian disimpan di botol bekas air kemasan. Di terminal, siang hari
dalam kondisi haus orang pasti tak berpikir banyak saat menikmati segelas air
dingin manis berwarna kuning--rasa jeruk atau tidak, jeruk sungguhan atau bukan—yang
penting haus berlalu segera.
Di
rumah saya, produk susu yang bukan susu kental manis itu sudah jadi bagian
hidup bertahun-tahun. Katakan saja itu bukan susu dan jelaskan untung ruginya
menggunakan produk itu dalam kurun waktu tertentu, lalu serahkan pada konsumen
akan berhenti atau terus meminumnya, saya kira itu cukup daripada
berlarut-larut bikin resah warga.
Susu
saya susunya dia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar