Kamis, 11 April 2019

Audrey atau Bukan Audrey


Ramai-ramai orang mendukung  Audrey gadis yang beberapa waktu lalu jadi korban penganiayaan di kalangan ABG (Anak Bapak-ibu Gebleg) Kalimantan itu. Sampai banyak artis sok peduli dan kini kasusnya bahkan melebar ke pemilu dimana salah seorang pelaku konon anak seorang calon anggota legislatif. Entah seperti apa kejadian yang sebenarnya, yang jelas kini ada keterangan yang berbeda dari kabar liar di media sosial. Sebelumnya dikatakan pengeroyok berjumlah belasan dan alat kelamin korban dirusak, tapi hasil otopsi menyangkal adanya kerusakan bahkan badan korban pun bersih dari luka dan lebam.



Alhamdulillah saya tak latah sebar tagar #JusticeForAudrry karena merasa tak paham betul duduk perkaranya dan tujuannya apa, apalagi media sosial sekarang ini sudah sesak dengan kebohongan. Kalau soal bullying dan aksi kekerasan fisik di kalangan pelajar hampir setiap hari bisa ditemui di mana-mana –apalagi di zaman orang tua dikepung stress lalu sibuk cari senang sendiri. Dan itu artis-artis pada ikut-ikutan, apa pedulinya mereka dengan nasib buruk dan penderitaan orang lain, bukankah mereka dengan segala tingkah-polahnya yang justru membuat tatanan hidup makin rusak dan sulit dibenahi?

Semangat menghukum para pelaku yang sama-sama ABG juga bukan sesuatu yang semestinya. Kalau harus ada yang disalahkan tentunya adalah para orang tua mereka. Orang-orang tua Jaman Now yang sibuk cari senang sendiri itu benar-benar telah jadi perusak anak-anak. Menggunakan fakta di depan mata saya yang hidup di kampung saja, anak-anak balita sudah mainan pokoknya smartphone, lalu yang usia sekolahan tak pegang “mainan pokok anak-anak balita” itu sudah pasti jadi sasaran olok-olok. Kemudian ketika orang tuanya dengan cara apapun membelikan anaknya gawai, masalahnya jadi semakin rumit.

Sedikitnya contoh kebaikan, tak ada lagi teladan, televisi banjir acara hura-hura adalah sedikit dari masalah serius kita saat ini. Anak-anak bicara kasar, berani pada guru dan tak menghormati orang tua menjadi bagian dari kita kini bukan hasil simsalabim. Sekarang hidup makin ruwet, tak akan terurai keruwetan ini dengan menghakimi dan menghukum, apalagi yang dihukum juga korban. Lalu harus bagaimana?

Ya harus bagaimana? Saya bukan orang pandai, bukan ahli apapun, jadi ya harus bagaimana itu tadi. Semoga pemilu yang katanya untuk memilih orang-oang terbaik yang akan mengelola bangsa nanti, yang akan berlangsung sepekan lagi benar-benar bisa diharapkan dengan menghasilkan manusia-manusia yang bukan bagian dari masalah negara dan bangsa. Terus…bagaimana?




Tidak ada komentar: