Senin, 26 Maret 2018

SOAL MENARA MASJID SAJA RIBUT


Pembangunan menara masjid Al Aqsha di Jayapura ditolak oleh sekelompok massa, adakah sesuatu yang aneh? Di wilayah Indonesia yang penduduknya beragam, kasus semacam ini sudah sering terjadi. Walaupun rasanya ini fenomena yang baru marak beberapa tahun terakhir. Dugaan saya bahwa ini sesuatu yang baru karena di sekitar tempat tinggal saya tak pernah ada kasus gereja diganggu atau orang-orang keturunan Cina dimusuhi, justru pernah ada seorang pendatang di kampung saya beragama Nasrani dibolehkan ikut tahlilan.  Jadi kasus di Papua ini hanya rangkaian dari rentetan kasus serupa yang pada beberapa tahun terakhir sering  jadi berita nasional.



Karena yang jadi omongan menara masjid, saya ceritakan saja pengalaman yang terkait dengan pembangunan sebuah menara masjid  di Jakarta Timur beberapa tahun lalu. Ceritanya tetangga-tetangga saya di desa banyak yang jadi tukang bajaj di Jakarta dan tinggal dekat masjid pada suatu hari mengeluhkan pembangunan itu. Ketika saya main ke sana, dalam obrolan siang hari mereka yang pendapatannya terus menurun menunjukkan kejengkelannya pada saya, alasannya bisa saja dianggap sepele, yaitu mereka mendengar kabar bahwa menara masjid itu dibangun dengan dana sebesar satu milyar rupiah.  Uang sebanyak itu hanya untuk sebuah menara, coba di-sodaqoh-kan pada tukang bajaj yang hampir putus asa itu pasti jelas manfaatnya, saya kira itu yang ada di benak mereka. Saya memaklumi dan terpikir ingin menolak pembangunan itu dengan mengajak beberapa tukang bajaj berdemo andai saja saya kuasa atau punya keberanian.  Faktanya kami hanya grundelan tak jelas, tak berani menanggung resiko dituduh menistakan agama apalagi sampai diusir tak boleh narik bajaj di Jakarta.

Orang-orang desa yang biasa melihat masjid di desa mereka tanpa menara tentu saja tak menganggap penting menara masjid. Lalu apakah menara masjid itu sesuatu yang benar-benar penting? Saya tahu tetangga saya yang tukang bajaj itu sekolahnya tidak tinggi, tapi saya tahu mereka tidak benar-benar buta masalah agama. Jadi kalau mereka menolak menara masjid yang—dianggap—mubadzir, bukanlah suatu kesalahan. Menara masjid pada suatu masa bisa jadi penting, agar suara adzan terdengar sampai jauh muadzin pasti butuh tempat yang tinggi. Tapi itu dulu ketika belum ada pengeras suara, sekarang ketika suara adzan sudah bersahut-sahutan menara masjid tentu sekedar hiasan.

Maka penolakan menara masjid di Papua itu jika memang benar-benar warga sekitar menolak mestinya diterima saja dengan lapang dada. Juga penolakan-penolakan lain seperti pembuatan sarana ibadah seperti musholla di kantor atau di tempat-tempat umum tak perlu dilawan, di Jawa yang mayoritas muslim saja musholla di rumah sakit, di pusat perbelanjaan pun banyak yang terkesan tidak  layak,  jadi untuk apa berantem. Justru di sini bagi saudara muslim ada peluang dakwahnya, bahwa Islam adalah rahmat bagi alam semesta, tak perlu gontok-gontokan berebut sesuatu yang tak prinsipil. Selama tidak ada gangguan saat sedang sholat, sholat di manapun tentunya tak jadi soal. Seluruh permukaan bumi ini adalah masjid, begitu kata Nabi SAW bukan?

Indonesia sedang penuh oleh fitnah politik. Tangan-tangan kotor sedang giat bermain demi kerakusan dan kekuasaan. Agama yang mudah dijadikan alat untuk mengusik perasaan umat yang terus-menerus dibikin bodoh, kini sedang jadi alat utama setan-setan itu. Demi masa depan yang lebih baik, jangan biarkan kekuatan jahat yang nyata merusak itu terus menguasai kita. Mari bersama dan terus bersama membangun negara menghias dunia.

1 komentar:

Djangkaru Bumi mengatakan...

Saya sendiri tidak bisa komentar banyak, karena belum tahu duduk permasalahan yang benar. Dan belum tahu bentuk dari menari tersebut.