Rabu, 01 Juli 2009

Bicara Nalar di Pilpres 2009


Kenapa harus nalar? Mungkin karena masih merasa manusia. Nalar memang yang menentukan kemanusiaan. Dan IDW (Indonesian Democracy Watch) sepertinya dalam diskusi publik yang diselenggarakannya di gedung Dewan Pers Jakarta senin kemarin sedang berupaya mengkritisi kemanusiaan kita-khususnya para politikus-yang tunggang langggang di tengah hiruk-pikuk pesta politik lima tahunan negara ini. Atau mungkin sekedar menambah hiruk pikuk yang tengah berlangsung saja.

Dalam diskusi yang bertema: “Menakar Ulang Nalar Kepemimpinan Re-Publik” ini berisi gugatan atas berbagai prilaku yang dilakukan para cawapres dan antek-anteknya. Rekayasa pencitraan dan kesalahan-kesalahan bersikap karena lebih menonjolnya emosionalitas jadi bahasan dalam diskusi yang berlangsung lepas jam makan siang ini. Tapi entah karena tidak menariknya tema atau sebab lain acara ini hanya dihadiri beberapa glinding manusia. Sesi tanya jawab pun hanya berlangsung sekali karena tidak ada penanya, padahal waktu masih bersisa.

Ada salah satu pernyataan yang menarik dalam diskusi yang berlangsung riuh ini, yaitu: apakah kepemimpinan kita hanya untuk sekedar kekuasaan? Setagnannya keadaan kita sebagai bangsa selama ini menurut salah satu pembicara adalah karena kita terus bicara kekuasaan. Dan tak bisa dipungkiri bahwa di zaman dimana kita tidak tahu adanya pemimpin, kita ramai berebut kekuasaan dengan berbagai macam cara. Dan ini sepertinya telah mentradisi bukan saja di level atas tapi juga di akar rumput.

Tentu saja masih relevan dalam keadaan bagaimanapun membicarakan nalar selama kita masih merasa manusia. Sama seperti membicarakan Pancasila dasar negara kita yang berisi nilai-nilai luhur, padahal hampir sulit rasanya kini menemukan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila itu hidup di tengah-tengah kita. Meski tentu saja kita semua masih merasa mengagung-agungkan Pancasila. Fenomena ini bisa jadi terkait dengan masalah nalar ini.

Nalar inilah yang bisa dipastikan membedakan manusia dengan binatang ternak. Binatang yang selalu dikondisikan oleh siapapun yang menghendaki. Dan semestinya manusia sebagai makhluk Tuhan yang paling mulia bisa merdeka dalam bersikap, tidak dikuasai pribadi-pribadi lain yang sebenarnya tak beda derajat dalam kemanusiaan dengan dirinya. Tapi kini manusia sepertinya rela dihina dina asal bisa puas dengan kesenangan-kesenangan semu.

Banyak yang prihatin dengan kondisi sosial masyarakat yang ada saat ini. Tentu saja bisa dimaklumi, karena bukan saja mereka yang melek pengetahuan yang tahu itu, bahkan kalangan awan pun mengenali proses yang mengerikan ini. Tak salah juga mereka yang pesimis dengan upaya yang dilakukan oleh orang-orang yang juga sulit untuk dipercaya, tapi tak semestinya berputus asa. Mari terus bicara nalar, setidaknya kita mungkin terus menjaga kondisi kesehatan mentalitas kita meski kondisi lingkungan tak tertolong oleh pengrusakan.

Tidak ada komentar: