Rabu, 12 Januari 2011

Harga Cabai Naik Petani Untung?

Berita tentang harga cabai yang melangit pasti saudara sekalian telah menyimaknya dari media-media yang terus bawel memberitakan. Apalagi kalau saudara biasa belanja ke pasar, pasti bisa merasakan langsung betapa pedagang-pedagang itu seperti pelit njitit wasaitit. Sekilo cabai sampai seratus ribu.


Yang saya tahu cabai merah keritinglah yang harganya melangit. Cabai rawit dan cabai hijau walau juga naik tapi masih jauh harganya di bawah cabai merah yang keriting itu ketika saya survei (baca:belanja) beberapa hari lalu. Tapi kini cabai rawit pun harganya ikut menggila. Tadi pagi ketika sarapan nasi uduk, penjualnya mengeluh kepada saya dengan menunjukkan enam buah cabai rawit yang katanya dia beli dengan harga seribu rupiah. Dia katakan cabai merah dan cabai hijau besar dengan uang seribu hanya dapat satu buah. Ampun pemerintah!

Dari berita yang saya baca di koran, mahalnya harga cabai yang menikmati bukan petani dan pengecer. Saya sebagai anak petani sangat setuju itu, karena pengalaman saya mengamati bagaimana para petani menjual hasil pertaniannya. Para petani itu selama ini hanya jadi obyek permainan para tengkulak. Maka kalau didapati selisih yang jauh antara harga di petani dengan di pasar tidaklah aneh. Misalnya di pasar tradisional Jakarta harga bawang (contohnya bawang karena saya orang Brebes) limabelas ribu perkilo, ditingkat petani harga bisa dibawah lima ribu rupiahan. Maka cabai yang seperti barang antik itu harganya melangit jangan bayangkan para petani kita (khususnya yang menanam cabai) senang bukan kepalang. Kalau mereka mengeluh jelas bukan karena mereka tidak bersyukur (saya pikir petanilah sosok yang paling paham apa itu bersyukur), tapi fakta membuktikan penindasan terhadap mereka sejak jaman dahulu tak pernah kunjung usai. Dan yang saya maksud dengan petani tentu saja bukan tuan tanah yang tinggal menyewakan tanah atau menyuruh orang untuk menggarap sawahnya, melainkan mereka yang  mengandalkan hidup dengan mengolah lahan pertanian setiap harinya, memiliki sawah atau tidak.

Belum lagi kalau kita ketahui bagaimana distribusi pupuk yang juga tak menguntungkan petani. Maka tak aneh kalau banyak anak-anak petani yang tak lagi sudi jadi petani, mereka lebih senang jadi pegawai atau pedagang. Dan kalau diperhatikan hampir semua orang ingin jadi pedagang. Lihatlah disekeliling kita, betapa setiap rumah kini telah jadi warung, tak perduli di depan rumahnya sudah ada warung dengan barang dagangan yang sama. Keuntungan dalam berdagangpun seperti tak ada yang mau kecil, lihat saja minuman yang jelas ada bandrolnya seharga Rp 1300,- misalnya, lumrah dijual Rp. 3000,- . Setiap orang seperti saling membunuh saja sekarang.


7 komentar:

Adit Mahameru mengatakan...

Inilah sekian dari banyak tanda bahwa SBY tu gagal....sumber bencana tiada henti...mentingin citra dan muka sok imut..payah presiden curhat kita...hhehehe

Muhammad A Vip mengatakan...

Adit: Saya pikir SBY berhasil, berhasil membuat kita pusing

Mulyani Adini mengatakan...

Saya juga anak dari seorang Petani dulunya...
Dan skg saya memilih untuk tidak menjadi petani...kebun warisanku itu dulunya penuh dgn tanaman cabe, semangka dll...dan skg hanya tanaman permanen aja....

Muhammad A Vip mengatakan...

petani bakal punah pada suatu hari kayaknya, Bu

nita mengatakan...

Nanem cabe ae pas dipekarangan mas. kalo bisa bumbu2 yg lain jg,jd kalo kondisine lg spt ini bs sdikit tertolong :) he..he..

Anonim mengatakan...

membaca seluruh blog, cukup bagus

Anonim mengatakan...

Tak, prawdopodobnie tak jest