Minggu, 28 November 2010

Syair Yang Membuatku Berpaling

Bagi orang yang menetap di kota besar seperti saya, pengamen tentu saja bukan sesuatu yang asing. Apalagi semenjak krisis moneter lebih dari sepuluh tahun lalu, rasanya pengamen bukan saja jumlahnya yang terus meningkat tapi jenisnya juga terus beragam. Kalau dulu pengamen umumnya menyanyi, entah dengan iringan alat musik atau tidak, kini ada pengamen dengan modal gretakan dengan mengaku sebagai bekas napi yang baru keluar dari penjara dan butuh ongkos pulang kampung. Ada juga yang dengan modal tampang memelas mengaku sakit menahun dan butuh biaya berobat. Mereka ada yang menyenangkan, tapi tak sedikit yang membuat bulu kuduk menegang.


Kemarin lusa, melewati jalan Buncit Raya menuju Monas dalam kopaja yang melaju zig zag saya mendapati pengamen yang rasanya membuat susah tidur. Seumur-umur baru kali ini saya melihat seorang nenek mengamen dalam bis kota. Kalau nenek-nenek jadi peminta-minta saya yakin bukan hal aneh, di rangkaian kereta jabotabek atau di terminal-terminal gampang ditemui orang-orang tua naik turun bis kota untuk meminta-minta. Tapi seorang nenek kurus dengan berpegangan erat pada kursi penumpang, menjaga tubuhnya agar tidak terpelanting dalam bis kota yang melaju tak pakai aturan kemudian mengemen benar-benar pemandangan baru.

Mendengar nenek itu membuka aksinya di dalam bis kota dengan kata-kata yang indah saya merasa nenek itu orang yang berpengetahuan. Sampai kemudian dia bersyair saya makin yakin dia bukan dari keluarga sembarangan. Dari logat bicaranya aku menduga dia orang Padang dan ini membuat saya menerawang jauh ke mana-mana karena setahuku orang Padang sangat menjaga harga dirinya. Saya ingat dulu pernah punya seorang kawan asal Padang yang datang ke Jakarta dan jadi pedagang asongan, pamannya yang juga pedagang seperti malu dan menyuruhnya membuka lapak. Dan memang, walau hanya berdagang kaos kaki biasanya orang Padang selalu buka lapak, tidak berkeliling menawarkan ke mana-mana.

Nenek itu bersyair dan benar-benar indah. Saya yang tak kuasa menyaksikan pemandangan seorang nenek terombang-ambing dalam bis kota awalnya memalingkan wajah untuk membuang rasa haru di dada, tapi syairnya membuat saya menatap ke wajah nenek itu. Wajahnya tidak dekil, sesuatu yang menandakan nenek itu bukan gelandangan. Tapi kenapa nenek tua itu mengamen, bahkan sampai harus naik turun bis kota menantang bahaya? Banyak kemungkinan untuk menjawab pertanyaan itu, tapi aku yang memiliki beberapa orang tua yang telah nenek-nenek di rumah benar-benar ingin berpaling saja darinya. Bukan muak dengan apa yang tampak, tapi kenyataan di negeri ini benar-benar membuat gejolak hati tak bisa dikendalikan.

Tak pernah teringat bunyi syair nenek itu, tapi rasa sesak di dada masih terus menjejal hingga kini. Betapa kian tak nyaman hidup di negeri ini. Hampir setiap hari disuguhi adegan demi adegan yang mengerikan, seakan hidup di alam bebas yang tak ada orang-orang yang bertanggungjawab untuk mengurus segala ketidakberesan. Padahal jelas, di sini adalah sebuah negara yang dikelola oleh orang-orang yang dibayar mahal dengan uang pajak yang dikumpulkan dari rakyat. Tapi mereka yang hidup mewah itu seperti abai pada tugas, sehingga harus ada nenek-nenek ringkih berjuang di jalan raya bersaing dengan anak-anak kecil berebut uang recehan.

Kini, setelah berpaling dari wajah seorang nenek yang mengamen di bis kota, harus dipalingkan kemana lagi wajah ini. Sebab ternyata wajah nenek itu ada di mana-mana, mengisi setiap ruang di belantara Indonesia kita. Ya Tuhan, sampai kapan semua ini berlangsung?

12 komentar:

Mulyani Adini mengatakan...

Saya bisa membayangkan bagaimana Nenek itu bernyanyi, jika saya didekatnya mungkin saya akan memalingkan wajah dan membayangkan seandainya nenek saya seperti itu...miris rasanya..., itulah kehidupan yang sulit di mengerti...

Muhammad A Vip mengatakan...

ya Bu, miris rasanya.

nita mengatakan...

Mungkin nenek itu sedang penjiwaan peran untuk suatu adegan drama mas.. he..he.. ndak mungkin ya?
Tapi ya ngenes rasanya di negeri sendiri sampai harus berjuang sedemikian rupa untuk sesuap nasi..

Muhammad A Vip mengatakan...

bisa jadi, kira-kira dia bakal maen sinetron apa pilm ya?

jaya | Belajar SEO Pemula mengatakan...

Ngelus dada saya setelah baca kisah ini....

heeemmmmmmm.....

Muhammad A Vip mengatakan...

wah, ngelus dada, kalo saya ngelus kepala.

nita mengatakan...

Aku rasa maen film deh mas, kalo sinetron kasihan dah sepuh. dan kejar tayang terus syuting-na he..he..

Kiki mengatakan...

waduhh kemana tuh anaknya?

alkatro mengatakan...

belum pernah ketemu mas, mungkin nenek tersebut bisa juga orang tua dari 'konglomerat' yang kabur dari pantai jompo, sekarang lagi ngetrend kan mas, 'orang kaya baru' yang nitipin orang tuanya di pantai jompo karena dianggap 'merepotkan' na'udzubillah

Muhammad A Vip mengatakan...

apa kita tak perlu jadi tua saja?

Rela Rahmah mengatakan...

mungkin nenek itu mikir, daripada jadi pengemis yg cuma minta-minta lebih baik jadi pengamen aja, lebih ada usahanya..

Anonim mengatakan...

belajar banyak