Lanjut
soal puisi “Ibu Indonesia” milik Ibu Sukmawati Soekarnoputri yang bikin heboh
itu. Apakah akan tambah heboh atau berakhir kita lihat sama-sama besok siang
(6/4/2018), kalau ada demo di Monas berarti kasusnya akan panjang dan kalau
tidak jadi demonya berarti Syariat Islam dijalankan—dalam Islam memberi maaf
sangat ditekankan. Sang Ibu Indonesia sudah meminta maaf, sudah menangis, sudah
cium tangan Ketua MUI segala, haruskah dipenjara?
Sebelumnya
saya sempat menulis di sini bahwa puisi itu ditulis hanya sekali jadi--tanpa dibaca
ulang, tidak direnungi—yang dibuatnya pada malam sebelum dibacakan. Ada cadar
di sana, dan menurut saya sebagai reaksi atas polemik soal cadar beberapa pekan
lalu. Dan saya juga menuduh Bu Suk (panggilan top saat ini untuk Ibu Sukmawati)
membeci suara adzan. Apa yang saya
lakukan tentu saja emosional, semua itu karena keterbatasan pengetahuan. Maka saya mohon maaf pada Bu Suk, karena saya
telah melecehkan.
Saya
merasa bersalah karena kini beredar foto teks puisi itu pada selembar kertas putih
yang ada keterangan tahun rilisnya, yaitu tahun 1999. Puisinya juga konon sudah
dibukukan dalam sebuah buku yang berjudul sama seperti judul puisi kontroversial
itu. Walaupun saya belum melihat langsung buku itu, yang berarti saya belum
memastikan puisi itu ada di sana, tetap saja saya menyesal menuduhkan sesuatu
yang belum tentu benar.
Jadi
menurut saya, untuk lebih memperjelas keadaan, setelah Bu Sukma--enaknya begini
saja ya?—meminta maaf secara terbuka, segala yang berkaitan dengan puisi itu
harus disampaikan kepada publik. Lewat televisi beliau bisa bicara panjang
lebar tentang sejarah puisi itu, bagaimana bisa cadar terpikirkan lalu disebut
padahal di tahun itu masih sulit melihat perempuan Indonesia bercadar. Buku puisinya
ditunjukkan dan beberapa orang yang pernah menerima copy-nya diajak membuktikan
kebenarannya.
Saya
kira hal ini tidak berlebihan, sebab kalau buku yang ditunjukkan pernah terbit
itu ternyata hanya Bu Sukma saja yang punya pasti akan muncul kecurigaan lain,
apalagi sekarang mencetak buku bukan sesuatu yang sulit. Perlu diingat, umat Islam
Indonesia mudah marah bukanlah watak bawaan, sifat gampang bereaksi dan terkesan
amukan itu ada sejarah panjangnya. Dan kalau memang tidak ada niat mengganggu
kaum muslimin harus bener-benar dibuktikan.
Ibarat
kolam, Indonesia saat ini sedanng keruh. Ada banyak tangan yang sengaja membuat
keruh dan tidak ingin kolam kembali bening airnya. Walau begitu upaya
menjernihkan air keruh harus dilakukan, dan sebagai anak Sang Proklamator punya
tanggungjawab untuk itu. Ayo Bu Sukma tunjukkan.
Akhir
kata, semoga segala kegaduhan ini tidak sia-sia. Karena darinya kita bisa
belajar banyak hal untuk menjadi bekal memperbaiki hidup bangsa ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar