Di
tengah zaman yang mudah gaduh dan rusuh, yang diharapkan tentu saja sikap yang
hati-hati. Terlalu banyak berita bohong
di tengah kebebasan informasi sekarang ini telah membuat masyarakat mudah terprovokasi.
Ikatan kekeluargaan di tengah warga terus merenggang, hidup pun makin
terkotak-kotak--orang-orang memang masih hidup bersama, namun lebih karena
adanya kepentinngan-kepentingan ekonomi di antara mereka. Situasi yang memprihatinkan ini tentu harus
diatasi, cuma karena upaya itu sulit, sementara yang musti dilakukan adalah
bersikap hati-hati itu.
Tapi
apa daya, sepertinya kekuatan-kekuatan yang menginginkan adanya kekacauan di tengah
warga makin besar saja. Kekuatan jahat
itu entah berada di mana, sebab yang menunjukkan bahwa dia benar-benar ada sejauh
ini hanya percikan-percikan di antara pergerakan-pergerakan yang potensial
membakar amarah massa. Untungnya kelompok yang dominan di masyarakat adalah
kelompok moderat yang telah lama mengakar di negeri ini, sehingga laku
kekerasan dari kaum reksioner mudah diredam.
Entah
akan sampai kapan situasi menegangkan ini berlangsung. Melihat tanda-tanda yang
mungkin terjadi pada Pemilu Persiden tahun 2019 yang akan datang, rasanya
situasi tidak menyenangkan ini akan makin memanas dan kemungkinannya akan
berlangsung lama—setidaknya untuk kurun waktu lima sampai sepuluh tahun
kedepan.
Siapa
kira-kira yang akan mampu mendinginkan suhu panas ini? Entahlah, bahkan
perempuan—dalam hal ini ibu-ibu—pun sepertinya sudah tak bisa diharapkan. Seperti
baru saja seseorang yang mengaku sebagai “Ibu Indonesia”, muncul di depan publik
bukannya mendamaikan hati anak-anak bangsa yang sedang gerah, yang dilakukannya
justru mengajak anak-anaknya berantem. Apakah ibu Indonesia yang satu ini bodoh
atau tampilnya dengan maksud menyindir
ibu-ibu Jaman Now, sekali lagi entahlah.
Semoga
segala gejala yang timbul belakangan ini bukan tanda bahwa Indonesia sebagai negara
sedang mendekati akhir hayatnya, terlalu cepat rasanya kalau negara kesatuan dari Sabang
sampai Merauke ini pecah dan bubar jalan di tahun 2030. Belum 100 tahun bro! Lagi
pula masih banyak sekali anak-anak bangsa yang gigih berjuang memelihara
lestarinya tumpah darah tercinta ini. Ibu Indonesia boleh bodoh—karena tidak
sempat sekolah—tapi anak-anak Indonesia sebagai generasi penerus harus lebih
baik.
Marilah
anak-anak Indonesia bersatu, lawan kekuatan jahat yang ingin menghancurkan
kita.
3 komentar:
mari bersatu padu untuk menghancurkan musuh2 kita
Jeritan ibu mungkin ada benarnya juga. Agar anak-anaknya lebih waspada.
Itu mungkin semua kritikan atau pengingat belaka.
oBAT SAKIT: wah, siapa musuh kita nih?
Djangkaru: ya, positip ting ting lah
Posting Komentar