Pembangunan menara
masjid Al Aqsha di Jayapura ditolak oleh sekelompok massa, adakah sesuatu yang
aneh? Di wilayah Indonesia yang penduduknya beragam, kasus semacam ini sudah
sering terjadi. Walaupun rasanya ini fenomena yang baru marak beberapa tahun
terakhir. Dugaan saya bahwa ini sesuatu yang baru karena di sekitar tempat
tinggal saya tak pernah ada kasus gereja diganggu atau orang-orang keturunan
Cina dimusuhi, justru pernah ada seorang pendatang di kampung saya beragama Nasrani
dibolehkan ikut tahlilan. Jadi kasus di
Papua ini hanya rangkaian dari rentetan kasus serupa yang pada beberapa tahun
terakhir sering jadi berita nasional.
Karena yang jadi
omongan menara masjid, saya ceritakan saja pengalaman yang terkait dengan
pembangunan sebuah menara masjid di
Jakarta Timur beberapa tahun lalu. Ceritanya tetangga-tetangga saya di desa
banyak yang jadi tukang bajaj di Jakarta dan tinggal dekat masjid pada suatu
hari mengeluhkan pembangunan itu. Ketika saya main ke sana, dalam obrolan siang
hari mereka yang pendapatannya terus menurun menunjukkan kejengkelannya pada
saya, alasannya bisa saja dianggap sepele, yaitu mereka mendengar kabar bahwa
menara masjid itu dibangun dengan dana sebesar satu milyar rupiah. Uang sebanyak itu hanya untuk sebuah menara,
coba di-sodaqoh-kan pada tukang bajaj yang hampir putus asa itu pasti jelas
manfaatnya, saya kira itu yang ada di benak mereka. Saya memaklumi dan terpikir
ingin menolak pembangunan itu dengan mengajak beberapa tukang bajaj berdemo andai
saja saya kuasa atau punya keberanian. Faktanya
kami hanya grundelan tak jelas, tak
berani menanggung resiko dituduh menistakan agama apalagi sampai diusir tak
boleh narik bajaj di Jakarta.
Orang-orang desa
yang biasa melihat masjid di desa mereka tanpa menara tentu saja tak menganggap
penting menara masjid. Lalu apakah menara masjid itu sesuatu yang benar-benar penting?
Saya tahu tetangga saya yang tukang bajaj itu sekolahnya tidak tinggi, tapi
saya tahu mereka tidak benar-benar buta masalah agama. Jadi kalau mereka
menolak menara masjid yang—dianggap—mubadzir, bukanlah suatu kesalahan. Menara masjid
pada suatu masa bisa jadi penting, agar suara adzan terdengar sampai jauh
muadzin pasti butuh tempat yang tinggi. Tapi itu dulu ketika belum ada pengeras
suara, sekarang ketika suara adzan sudah bersahut-sahutan menara masjid tentu
sekedar hiasan.
Maka penolakan
menara masjid di Papua itu jika memang benar-benar warga sekitar menolak mestinya diterima saja dengan lapang dada. Juga penolakan-penolakan lain seperti pembuatan sarana ibadah seperti musholla
di kantor atau di tempat-tempat umum tak perlu dilawan, di Jawa yang mayoritas muslim saja musholla di
rumah sakit, di pusat perbelanjaan pun banyak yang terkesan tidak layak, jadi untuk apa berantem. Justru di sini
bagi saudara muslim ada peluang dakwahnya, bahwa Islam adalah rahmat bagi alam
semesta, tak perlu gontok-gontokan berebut sesuatu yang tak prinsipil. Selama
tidak ada gangguan saat sedang sholat, sholat di manapun tentunya tak jadi
soal. Seluruh permukaan bumi ini adalah masjid, begitu kata Nabi SAW bukan?
Indonesia sedang
penuh oleh fitnah politik. Tangan-tangan kotor sedang giat bermain demi
kerakusan dan kekuasaan. Agama yang mudah dijadikan alat untuk mengusik
perasaan umat yang terus-menerus dibikin bodoh, kini sedang jadi alat utama
setan-setan itu. Demi masa depan yang lebih baik, jangan biarkan kekuatan jahat
yang nyata merusak itu terus menguasai kita. Mari bersama dan terus bersama
membangun negara menghias dunia.
1 komentar:
Saya sendiri tidak bisa komentar banyak, karena belum tahu duduk permasalahan yang benar. Dan belum tahu bentuk dari menari tersebut.
Posting Komentar