Hari Buruh lagi
dan demonstrasi lagi. Akankah sampai kiamat akan begini? Semoga pada suatu saat
peringatan Hari Buruh Internasional tak lagi diisi dengan turun ke jalan. Para buruh pabrik
yang jauh-jauh datang ke Istana Merdeka itu untuk sekedar berkerumun bisa saja
memilih sesuatu yang lebih bermartabat, lebih menunjukkan kemandirian. Bagaimanapun
buruh kodratnya untuk disuruh-suruh, di luar jam kerja tetaplah manusia yang
hidup merdeka.
Menjadi buruh
mungkin bukan pilihan. Bagaimana mau memilih antara jadi buruh atau jadi
majikan jika seseorang hidup dalam kekurangan: kurang pengetahuan, kurang
pergaulan, kurang terdidik dan kurang duit. Saya ingat pada masa sekolah di
SMEA (sekarang SMK) guru-guru selalu mengatakah: lebih baik jadi pengusaha kecil
daripada buruh besar, tapi nyatanya yang berkata-kata pun hanya hidup
mengandalkan gaji dari kerja sebagai guru. Jadi, katakan saja manusia punya
bawaan lahir.
Tapi walau bawaan
lahir jadi orang suruhan, bukan berarti seorang buruh harus membiarkan diri
jadi alat orang-orang berduit. Di kampung saya ada fenomena menarik akhir-akhir
ini, yaitu ketika kebutuhan buruh harian tidak melimpah seperti zaman dulu
(sekarang lebih banyak orang menjadi buruh gaji bulanan dengan merantau), buruh
harian lebih berani bersikap daripada orang yang menyuruhnya. Seperti ada
seorang buruh cangkul yang sudah dibayar untuk kerja, dia pada pagi harinya
mengembalikan uang yang sudah diterimanya itu karena ada orang lain yang berani
membayar lebih. Secara etika mungkin bermasalah, tapi ini menunjukkan bahwa
buruh pun bisa mandiri.
Kemandirian buruh
seperti yang saya ceritakan tadi, walaupun secara moral bisa disalahkan, tapi
masih lebih baik daripada jadi buruh tapi curang dalam bekerja. Buruh atau
pekerja curang bukan hal baru, seseorang yang hanya rajin saat diawasi dan
bermalas-malasan saat tak ada yang mengawasi gampang ditemui di banyak lapangan
pekerjaan. Atau di kalangan Pegawai Negeri Sipil, gampang di jumpai di banyak
instansi, mereka digaji tinggi tapi banyak dari mereka yang hanya ngobrol atau
main game di komputer.
Burruh curang
pada kelas buruh harian bisa saja ada, tapi yang lebih potensial adalah mereka
yang digaji bulanan. Buruh harian juga tak mungkin ikut demonstrasi buruh di
Hari Buruh, karena kalau mereka tidak bekerja hari itu pasti tak ada upah yang
diterima. Lalu apakah dalam demonstrasi itu ada tuntutan agar pemerintah lebih
memperhatikan buruh harian? Jangan-jangan malah mereka para buruh pabrik sama
sekali tak menganggap para kuli panggul, kuli bangunan di proyek-proyek yang
dibayar kecil juga pekerja diperusahaan rumahan adalah saudara seprofesi. Maka saya
lebih simpati pada buruh harian yang saya rasa lebih teraniaya.
Hari Buruh se-Dunia, saya
merasa bukan harinya buruh harian.
2 komentar:
Dilemanya kalau ada buruh yang kurang bekerja baik bertanggung jawab pada jam kerjanya, hanya bermalas2an tak bekerja secara maksimal.
Satu sisi lain, masih banyak di Indinesia sebuah tempat usaha memperkerjakan orang dengan tidak mentaati peraturan ketenagakerjaan dan mengeyampingkan hak yang semestinya milik buruh/pekerja.
Masih banyak tempat kerja di Indonesia yang tidak ada hitungan lembur dari jam kerja normal 8 jam perharinya, tidak ada cuti tahunan, dll.
Lalu bagaimanakah semestinya menangani hal seperti ini ?.
banyak persoalan di negeri ini yang sepertinya sulit diatasi, padahal bisa jadi karena tak ada yang benar-benar mau mengatasinya. carut marut di segala bidang, dan semua ditutup dengan seremoni-seremona
Posting Komentar