Sepertinya sekarang sudah tak ada lagi program pemerintah untuk bebas buta huruf seperti yang dulu pernah ramai. Mungkin orang buta huruf sudah tidak ada lagi atau mungkin masih ada orang Indonesia yang buta huruf, tapi jumlahnya mungkin tak seberapa atau tak dianggap penting karena anak-anak yang bisa sekolah sekarang jumlahnya sudah luar biasa. Model pendidikan pun kini sudah beragam, tak melulu sekolah model konvensional. Home school pun mulai banyak peminatnya. Gampangnya mencari orang buta huruf sekarang anggap saja sama sulitnya dengan mencari lele di lautan. Tapi apa benar begitu?
Kemarin saya dalam perjalanan pulang lewat kawasan Kuningan (Rasuna Said) yang macet, tak jauh dari kantor KPK saya melihat ada spanduk larangan menyeberang seenaknya yang bertuliskan "GUNAKAN JEMBATAN PENYEBRANGAN" yang dibentangkan di pembatas jalan. Spanduk berwarna biru itu berukuran sedang yang sepertinya ada dua buah, satu menghadap sisi timur jalan dan satunya lagi menghadap ke barat. Dalam kemacetan di jalur lambat saya melihat seorang wanita pekerja menyebrangi jalur cepat yang tidak padat dan laju mobilnya cukup kencang, di belakangnya seorang ibu berkerudung siap-siap menerobos jalur cepat itu. Dan seorang lelaki berjalan menyebrang ke arah berlawanan. Dari situ pikiran tentang bebas buta huruf di masyarakat kita mulai berkembang di kepala.
Tulisan di spanduk itu cuma sebaris, besar dan jelas sekali, beda dengan tulisan No Smoking di ruang-ruang tunggu yang istilahnya saja pakai bahasa asing jadi kalau tak dihiraukan menjadi wajar. Tapi ini tampak menyolok bahkan penumpang angkutan seperti saya saja yang matanya sering belekan mampu mengenali. Namun faktanya penyeberang jalan liar tetap saja berbondong-bondong gagah berani. Penting akhirnya mempertanyakan soal buta huruf ini, masih merajalelakah buta huruf di Indonesia (khususnya di Jakarta) atau apakah yang terjadi adalah justru karena masyarakat kita terlalu seringnya membaca maka mata menjadi bermasalah sehingga tak mampu lagi membaca tulisan dalam jarak yang jauh.
Dua pertanyaan tadi rasanya bisa dijadikan pekerjaan bagi para peneliti. Penting juga rasanya mengumpulkan data demi mengetahui dengan pasti kondisi masyarakat kita dalam hal buta huruf, karena tentunya akan membantu pemerintah dalam menyusun program kerja. Dan karena saya bukan peneliti di sini saya hanya akan mengotak-atik gathuk fenomena yang ada berdasar pengalaman.
Perlu diingat sebelum semua berlanjut, bahwa buta huruf bukanlah sebuah penyakit, bukan juga aib apalagi sampai berakibat dosa. Jadi kalau pada akhir tulisan ini ada pembaca yang kemudian merasa buta huruf janganlah sampai gundah-gulana apalagi sampai ada niat untuk bunuh diri segala. Santai saja, bukankah Nabi Muhammad SAW juga konon buta huruf.
Berikut ini saya punya tiga hal yang coba saya uraikan untuk mengetahui apakah masyarakat kita masih banyak yang buta huruf atau tidak. Semoga uraian ini menjelaskan sesuatu.
Pertama: Tetangga saya seorang tukang bajaj selama ini sepengetahuan saya tak pernah bermasalah dalam pergaulan di masyarakat terutama dalam bertransaksi yang melibatkan uang. Saya tidak pernah berfikir kalau dia buta huruf, tentunya. Namun pada suatu hari saya terkaget ketika mendengar keterangan dari salah satu anggota keluarga yang mengatakan kalau tetangga tersebut buta huruf. Benar bahwa dia mengenali jenis-jenis uang, faham bagaimana menghargai sesuatu dengan uang, tapi itu hanya karena jenis uang yang ada berbeda tampilannya. Kenyataannya dia tidak faham angka-angka atau huruf yang tertera. Saya tidak pernah mencari orang-orang semacam ini, tapi untuk tetangga dekat yang saya kenal ada dua.
Kedua: Sebelumnya saya berharap dia tidak pernah membaca ini. Seorang teman yang begitu terobsesi dengan gelar atau titel dan ingin sekolah tinggi dan memang kuliah di Jakarta ini, ternyata sering salah menyebut nama. Seperti Gedung Atrium Senen, dia menyebutnya Arnium (entah sekarang). Menyebut Taufik Kiemas dengan peti kemas dan lain-lain. Dan ini tidak bercanda. Artinya bisa saja seseorang akrab dengan tulisan dan buku-buku, juga selalu siap berdebat dengan orang lain, tapi tidak berarti pengetahuan yang muncul darinya karena mampu membaca teks. Bisa saja dia mampu mengeja kata-kata, tapi rasanya hanya karena sudah akrab saja dengan huruf-huruf yang ada.
Ketiga: Helen Killer yang terkenal itu, yang mengagumkan karena tak bisa melihat dan mendengar tapi bisa membaca fenomena dan menghasilkan beberapa buku, seingatku tetap saja orang menyebutnya buta. Jadi kalau kita merasa mudah saja mencerna fenomena, tak mesti kita tidak buta tentang semuanya.
Akhirnya, kini saya berpikir apakah ketika menulis semua ini saya benar-benar mengenali dan faham tiap-tiap huruf yang terketik atau cuma kebetulan saja gerak jari ini tepat pada tuts tertentu sehingga menghasilkan tulisan yang bisa dibaca. Entahlah, jadi seandainya saya buta huruf juga tidak apa apa toh tidak akan membawa ke neraka selama dalam menjalani hidup ini dengan aturan yang benar.
Tulisan di spanduk itu cuma sebaris, besar dan jelas sekali, beda dengan tulisan No Smoking di ruang-ruang tunggu yang istilahnya saja pakai bahasa asing jadi kalau tak dihiraukan menjadi wajar. Tapi ini tampak menyolok bahkan penumpang angkutan seperti saya saja yang matanya sering belekan mampu mengenali. Namun faktanya penyeberang jalan liar tetap saja berbondong-bondong gagah berani. Penting akhirnya mempertanyakan soal buta huruf ini, masih merajalelakah buta huruf di Indonesia (khususnya di Jakarta) atau apakah yang terjadi adalah justru karena masyarakat kita terlalu seringnya membaca maka mata menjadi bermasalah sehingga tak mampu lagi membaca tulisan dalam jarak yang jauh.
Dua pertanyaan tadi rasanya bisa dijadikan pekerjaan bagi para peneliti. Penting juga rasanya mengumpulkan data demi mengetahui dengan pasti kondisi masyarakat kita dalam hal buta huruf, karena tentunya akan membantu pemerintah dalam menyusun program kerja. Dan karena saya bukan peneliti di sini saya hanya akan mengotak-atik gathuk fenomena yang ada berdasar pengalaman.
Perlu diingat sebelum semua berlanjut, bahwa buta huruf bukanlah sebuah penyakit, bukan juga aib apalagi sampai berakibat dosa. Jadi kalau pada akhir tulisan ini ada pembaca yang kemudian merasa buta huruf janganlah sampai gundah-gulana apalagi sampai ada niat untuk bunuh diri segala. Santai saja, bukankah Nabi Muhammad SAW juga konon buta huruf.
Berikut ini saya punya tiga hal yang coba saya uraikan untuk mengetahui apakah masyarakat kita masih banyak yang buta huruf atau tidak. Semoga uraian ini menjelaskan sesuatu.
Pertama: Tetangga saya seorang tukang bajaj selama ini sepengetahuan saya tak pernah bermasalah dalam pergaulan di masyarakat terutama dalam bertransaksi yang melibatkan uang. Saya tidak pernah berfikir kalau dia buta huruf, tentunya. Namun pada suatu hari saya terkaget ketika mendengar keterangan dari salah satu anggota keluarga yang mengatakan kalau tetangga tersebut buta huruf. Benar bahwa dia mengenali jenis-jenis uang, faham bagaimana menghargai sesuatu dengan uang, tapi itu hanya karena jenis uang yang ada berbeda tampilannya. Kenyataannya dia tidak faham angka-angka atau huruf yang tertera. Saya tidak pernah mencari orang-orang semacam ini, tapi untuk tetangga dekat yang saya kenal ada dua.
Kedua: Sebelumnya saya berharap dia tidak pernah membaca ini. Seorang teman yang begitu terobsesi dengan gelar atau titel dan ingin sekolah tinggi dan memang kuliah di Jakarta ini, ternyata sering salah menyebut nama. Seperti Gedung Atrium Senen, dia menyebutnya Arnium (entah sekarang). Menyebut Taufik Kiemas dengan peti kemas dan lain-lain. Dan ini tidak bercanda. Artinya bisa saja seseorang akrab dengan tulisan dan buku-buku, juga selalu siap berdebat dengan orang lain, tapi tidak berarti pengetahuan yang muncul darinya karena mampu membaca teks. Bisa saja dia mampu mengeja kata-kata, tapi rasanya hanya karena sudah akrab saja dengan huruf-huruf yang ada.
Ketiga: Helen Killer yang terkenal itu, yang mengagumkan karena tak bisa melihat dan mendengar tapi bisa membaca fenomena dan menghasilkan beberapa buku, seingatku tetap saja orang menyebutnya buta. Jadi kalau kita merasa mudah saja mencerna fenomena, tak mesti kita tidak buta tentang semuanya.
Akhirnya, kini saya berpikir apakah ketika menulis semua ini saya benar-benar mengenali dan faham tiap-tiap huruf yang terketik atau cuma kebetulan saja gerak jari ini tepat pada tuts tertentu sehingga menghasilkan tulisan yang bisa dibaca. Entahlah, jadi seandainya saya buta huruf juga tidak apa apa toh tidak akan membawa ke neraka selama dalam menjalani hidup ini dengan aturan yang benar.
6 komentar:
sudah dicatat ini :)
hmm...kalo ibu2 itu nyebrang sembarang sih bukan buta huruf tapi terburu2 aja. hehhee..
fanny: bisa jadi
Aby:sip lah!
yang penting wajib belajar 9 tahun yahh brader :D
setuju dengan pendapat yg terakhir tho itu tidak akan memperlambat jalan kita ke akherat :)
tp apa salahnya menimba ilmu
Aby:hahaha
Posting Komentar